Jumat 02 Dec 2022 19:42 WIB

Mengapa Perbankan Syariah Lebih Berdaya Tahan Kuat?

Perbankan syariah tidak akan mengalami negative spread

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nashih Nashrullah
 Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia, Adiwarman Karim, menyatakan perbankan syariah mempunyai daya tahan kuat.
Foto: Republika/Prayogi
Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia, Adiwarman Karim, menyatakan perbankan syariah mempunyai daya tahan kuat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonomi syariah adalah sumber pertumbuhan bagi perekonomian nasional dan perbankan syariah lebih berdaya tahan kuat karena sejumlah alasan. 

Komisaris Utama Bank Syariah Indonesia, Adiwarman Karim mencontohkan melalui skema kerja dari perbankan syariah. 

Baca Juga

"Perbankan syariah tidak akan mengalami negative spread karena kita pakai sistem bagi hasil," katanya dalam Konvensi Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), di Jakarta, Jumat (2/12/2022). 

Negative spread adalah suatu keadaan dimana suku bunga tabungan lebih tinggi daripada suku bunga pinjaman. Saat ini suku bunga acuan yang terus naik menimbulkan bank harus menyesuaikan suku bunga atau marginnya. 

Menurut Adiwarman, kedepannya ada potensi bank membayarkan bunga tabungan lebih tinggi daripada bunga pinjaman yang mereka terima. Keuangan syariah tidak bisa mengalami negative spread salah satunya karena sistemnya yang menerapkan bagi hasil. 

Sistem bagi hasil ini menyesuaikan dengan gejolak ekonomi yang ada. Sistem tersebut dinilai lebih adil karena untung dan rugi ditanggung bersama antara perbankan dan nasabah. 

Bank syariah juga cenderung tidak terikat dengan suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral. Seperti dalam akad jual beli, marginnya tetap sehingga cicilan tidak akan berubah meskipun suku bunga mengalami gejolak. 

Dia sendiri optimistis pada perkembangan ekonomi nasional Indonesia pada 2023. Dia meramalkan akan ada aliran dana besar-besaran dari asing pada Oktober 2023 saat calon presiden dan wakil presiden ditetapkan. 

Setidaknya ada dua alasan, dan terbukti secara historis saat Pilpres sebelum-sebelumnya. Adiwarman mengatakan, musim Pilpres adalah momentum saat dana asing berbondong-bondong masuk ke dalam negeri. 

"Saat itu ada tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah yang menurun, dan tidak adanya incumbent, ini dua-duanya terjadi nanti 2024," katanya. 

Namun dalam 10 bulan sebelumnya, yakni Januari-Oktober 2023, gejolak akan terjadi. Seperti likuiditas ketat, tingkat suku bunga naik, rupiah melemah, rasio kredit bermasalah meningkat, sehingga ini bisa menimbulkan banyak aksi korporasi. 

Perusahaan yang tidak kuat secara kapital akan dibeli oleh perusahaan yang lebih besar. Hal ini perlu diantisipasi sekaligus dimanfaatkan. Seperti tidak melepaskan aset nasional yang krusial sambil memperkuat infrastruktur dalam negeri, termasuk di ekonomi dan keuangan syariah. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement