Kamis 22 Sep 2022 12:45 WIB

KPPPA Harap Pemkot Jakut Perketat Pengawasan Hutan Kota

KPPPA meminta Pemkot Jakut memperketat pengawasan hutan kota tempat kekerasan anak.

Kekerasan terhadap anak (ilustrasi). KPPPA meminta Pemkot Jakut memperketat pengawasan hutan kota tempat kekerasan anak.
Foto: www.freepik.com
Kekerasan terhadap anak (ilustrasi). KPPPA meminta Pemkot Jakut memperketat pengawasan hutan kota tempat kekerasan anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengharapkanPemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Jakarta Utara memperketat pengawasan Hutan Kota Rawa Malang di Semper Timur, Cilincing.

"Sebagai area publik, jika tanpa pengawasan, hutan kota tersebut berisiko menjadi tempat yang rentan terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan," ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA Nahar dalam keterangannya.

Untuk itu, sebagai upaya mencegah tidak berulangnya tindak kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya, Kahar mengharapkan pemerintah daerah dapat memastikan tersedianya fasilitas umum yang ramah anak.

Di antaranya menguatkan kebijakan, menggagas Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA), Rute Aman Selamat Sekolah (RASS) dan Zona Selamat Sekolah (ZoSS). Selainitu menyiapkan petugas untuk melakukan patroli keliling pada jam-jam operasional di fasilitas umum.

"Sebagai bentuk empati dan kepedulian terhadap korban, KPPPA melalui Tim SAPA terus berkoordinasi dengan UPT P2TP2A DKI Jakarta untuk memantau perkembangan kasus, memastikan pendampingan dan pemulihan korban serta mengawal proses hukumnya," kata Nahar.

KPPPA mengecam dan tidak menolerir segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak. Anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual memiliki hak atas penanganan, pelindungan dan pemulihan yang didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh korban seperti restitusi dan layanan pemulihan, rehabilitasi serta reintegrasi sosial.

Hal itu sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Selanjutnya, pelaku yang diduga masih berusia anak juga perlu mendapat perlindungan dan penanganan proses hukum sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Selanjutnya mempertimbangkan penempatan Anak Berhadapan Hukum (ABH) di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) atau Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) selama penanganan perkara berlangsung atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) jika perkara sudah ada putusan tetap.

Agar penanganan kasus kekerasan seksual terhadap seorang korban anak perempuan usia 13 tahun di hutan kota di Jakarta Utara, dengan terduga pelaku empat ABHyang berusia 12-14 tahun tetap memperhatikan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku.

Kronologi kasus ini bermula saat korban pulang sekolah dan bertemu dengan keempat ABH di hutan kotadi Jakarta Utara (Jakut) pada 1 September 2022. Salah satu ABH memeluk korban dan menanyakan apakah korban mau menjadi kekasihnya, namun korban menolak.

Esok harinya, keempat pelaku yang sudah mengincar korban, kembali bertemu korban saat pulang sekolah. Saat itulah, keempat ABH melakukan tindakan pemerkosaan terhadap korban.

Akibat tindakan tersebut, terduga pelaku dapat dikenakan Pasal 81 ayat (1) dan (3) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ancaman maksimal hukumannya berupa pidana penjara 15 tahun dan sesuai pasal 79 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA dapat ditetapkan pada anak paling lama 7,5 tahun penjara atau paling lama setengah dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.

KPPPA melalui Tim SAPA telah melakukan koordinasi dengan UPT P2TP2A Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pendampingan terhadap korban. Saat ini keempat ABH ditempatkan di LPKS Handayani Jakarta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement