Ahad 28 Aug 2022 16:55 WIB

Warga Gaza Gantungkan Hidup Dengan Izin Kerja dari Israel

Upak kerja di Gaza tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Seorang pekerja Palestina melintasi bagian pagar pemisah Israel yang rusak, pulang ke rumah setelah seharian bekerja di Israel, di desa Jalameh, Tepi Barat, dekat Jenin, Senin, 6 September 2021. Israel melancarkan perburuan besar-besaran di negara itu. utara dan Tepi Barat yang diduduki Senin pagi setelah enam tahanan Palestina keluar dari sel mereka dan melarikan diri semalam dari fasilitas keamanan tinggi dalam pelarian yang sangat langka.
Foto: AP/Nasser Nasser
Seorang pekerja Palestina melintasi bagian pagar pemisah Israel yang rusak, pulang ke rumah setelah seharian bekerja di Israel, di desa Jalameh, Tepi Barat, dekat Jenin, Senin, 6 September 2021. Israel melancarkan perburuan besar-besaran di negara itu. utara dan Tepi Barat yang diduduki Senin pagi setelah enam tahanan Palestina keluar dari sel mereka dan melarikan diri semalam dari fasilitas keamanan tinggi dalam pelarian yang sangat langka.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Ibrahim Slaieh dapat menunjukkan tiga momen kebahagiaan besar dalam hidupnya di Jalur Gaza yaitu kelulusannya dari perguruan tinggi, pernikahannya, dan ketika mendapatkan izin untuk bekerja di Israel selama enam bulan. Surat izin itu dicetak dalam selembar kertas kecil, yang dibungkus plastik pelindung. Dengan mengantongi izin tersebut, pria berusia 44 tahun itu dapat bekerja di sebuah toko kelontong di Israel selatan, dan menghasilkan pendapatan 10 kali lipat dari pekerjaan di Gaza.

Dengan memiliki pendapatan yang lebih besar, maka Slaeih dapat memberikan pendidikan yang lebih baik untuk enam anaknya, memberikan makanan yang lebih dari cukup untuk keluarga dan membeli camilan seperti kue kering, yogurt buah, dan susu cokelat. Sementara, ketika Slaeih bekerja di Gaza upah yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Tingkat pengangguran di Gaza mencapai sekitar 50 persen. Beberapa pekerjaan yang biasanya dilakukan di Gaza antara lain menjual puing-puing bangunan atau menangkap burung untuk dijual ke toko hewan peliharaan dengan pendapatan yang sangat sedikit.

“Ini tidak ada bandingannya. Satu bulan bekerja di sana (Israel) sama dengan tiga tahun bekerja di sini (Gaza)," ujar Slaeih.

Pada Ahad pagi, Slaieh bangun sebelum fajar. Dia mencium anak-anak perempuannya dan melambaikan tangan kepada anak laki-lakinya sebelum pergi bekerja. Dia menyusuri jalan tanah, menuju persimpangan Erez yang seperti benteng menuju ke Israel.

Setelah menyeberang, Slaeih terkadang dijemput oleh majikannya. Tapi di lain waktu, dia patungan naik taksi dengan pekerja lain ke Kota Beersheba, yang terlerak sekitar 40 kilometer dari Gaza.  Slaeih tinggal selama tiga minggu di Israel untuk bekerja. Dia mendapatkan libur selama seminggu untuk pulang ke rumahnya di Gaza.

Slaieh mengatakan, dia belum pernah bepergian ke Israel. Bahkan dia baru saja mulai belajar bahasa Ibrani. Dia bekerja di sebuah toko di Beersheba yang dimiliki oleh seorang kerabat jauh. Dia mengatakan, sebangian besar pembeli adalah warga Palestina-Israel.

Seperti banyak pekerja Gaza, Slaieh mengatakan, sebagian besar gajinya disimpan untuk kebutuhan keluarganya. Sementara sebagian dia simpan sebagai dana darurat. Dia jarang pergi keluar atau sekadar nongkrong selama di Israel, karena biaya hidup yang mahal. Dia kadang-kadang berkumpul dengan warga Gaza lainnya atau pergi sholat di masjid setempat.

"Saya bekerja berjam-jam dan dibayar lembur, itu sebabnya saya melakukannya. Di Gaza, kami akan bekerja pada jam-jam ini dengan upah 30 shekel (sekitar 10 dolar AS) sehari,” kata Slaeih.

Beberapa izin kerja diperbarui secara otomatis, sementara pekerja lain harus mengajukan permohonan kembali secara berkala. Izin kerja Slaieh berakhir pada Desember. Dia mengatakan, membayangkan bahwa izin kerjanya tidak bisa diperpanjang adalah sebuah mimpi buruk. Slaeih mendapatkan upah sebesar 75 dolar AS per hari. Dia berupaya untuk menyisihkan pendapatannya untuk ditabung, dan berjaga-jaga jika suatu hari nanti perpanjangan izinnya ditolak.

Jika perpanjangan izin kerja Slaeih ditolak, maka dia akan membuka usaha kecil di Gaza. Slaeih bercerita, ketika ayahnya bekerja di Israel sekitar dua dekade lalu, dia tidak menyisihkan pendapatannya untuk ditabung Ketika Israel menutup perbatasan pada 2007, puluhan ribu pekerja, termasuk ayah Slaieh, tiba-tiba kehilangan pekerjaan.  Ayah Slaeih telah meninggal enam tahun lalu.

“Saya tidak ingin anak-anak saya mengalami pengalaman yang kami alami,” kata Slaeih

Israel mengakui, izin kerja itu merupakan alat yang ampuh untuk membantu menjaga ketenangan. Israel telah mengeluarkan hingga 15.500 izin kerja sejak tahun lalu. Izin kerja itu memungkinkan warga Palestina seperti Slaieh untuk menyeberang ke negara Israel dari Jalur Gaza. Sebagian besar warga Gaza yang bekerja di Israel melakukan pekerjaan kasar dengan upah jauh lebih tinggi daripada di Gaza. Sementara lebih dari 100.000 warga Palestina dari wilayah pendudukan Tepi Barat, memiliki izin serupa yang memungkinkan mereka bekerja di Israel.

Izin kerja tersebut memberikan pengaruh kepada kelompok militan Palestina terhadap Israel. Penguasa militan Gaza berisiko disalahkan jika perbatasan ditutup dan para pekerja dipaksa untuk tinggal di rumah, seperti yang mereka alami awal bulan ini ketika Israel terlibat dengan kelompok Jihad Islam Palestina di Gaza.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement