Ahad 21 Aug 2022 07:38 WIB

Benarkah Ada Lobi Yahudi di Amerika Serikat? Fakta Ini Menjawabnya  

Lobi Yahudi di Amerika Serikat mempengaruhi kebijakan terhadap Israel

Orang Yahudi dan bendera AS.ilustrasi. Lobi Yahudi di Amerika Serikat mempengaruhi kebijakan terhadap Israel
Foto: nleresource.com
Orang Yahudi dan bendera AS.ilustrasi. Lobi Yahudi di Amerika Serikat mempengaruhi kebijakan terhadap Israel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kita tentu sering mendengar tentang lobi Yahudi, yang bagi sebagian orang, kabar tersebut hanya dianggap desas-desus. Padahal fakta berbicara lain. 

Banyak kejadian-kejadian yang menguatkan bukti cengkeraman lobi Yahudi di Amerika Serikat. 

Baca Juga

Ingat misalnya kisah Paul Findley, mantan anggota Kongres, yang mengalami intimidasi sampai akhirnya tidak terpilih lagi gara-gara menyuarakan sikap yang pro-Arab. 

Kisah yang hampir sama juga terjadi pada Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB di masa pemerintahan Presiden Carter. Karena tekanan-tekanan kelompok Yahudi, ia kemudian dipecat ketika diketahui menjalin hubungan dengan wakil PLO di PBB. 

Tekanan dan pengaruh lobi Yahudi juga dirasakan, atau tetap diperhitungkan dalam penyusunan kabinet Clinton sekarang ini.

Beberapa jam setelah Bill Clinton mengumumkan pencalonan Warren M  Christopher sebagai calon Menteri Luar Negeri 3 Januari 1993, Clinton segera menemui sejumlah senator-senator keturunan Yahudi, dan meminta mereka untuk membujuk pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok Yahudi agar mendukung pencalonan tersebut.

Sudah bukan rahasia umum Christopher tidak disukai karena politik luar negerinya semasa Carter. 

Walaupun persentase minoritas tersebut lebih kecil dari kelompok wanita, hitam ataupun Spanyol, namun kelompok Yahudi menyumbangkan dana sebanyak 60 persen dari dana kampanye non institusional Clinton. 

Di samping itu, sekitar 80 persen pemilih Yahudi memberikan suaranya kepada Partai Demokrat. Ketidaksenangan kelompok-kelompok Yahudi semakin bertambah ketika Clinton memilih veteran-veteran dari pemerintahan Jimmy Carter untuk jabatan puncak politik luar negeri.

Di masa lalu, banyak organisasi-organisasi Yahudi memandang pemerintahan Carter bersikap sangat keras terhadap Israel, di pihak lain bersikap naif terhadap Arab. 

Lebih dari itu, kelompok tersebut sebenarnya menginginkan Clinton untuk mengangkat Peter Tarnoff, orang yang dekat dengan mereka, sebagai Pembantu Menteri Luar Negeri di bidang politik, posisi nomor tiga di Departemen Luar Negeri yang bertanggung jawab terhadap urusan sehari-hari dan biro-biro regional.

Taroff sekarang diplot sebagai Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri. Semasa Carter, ia menjabat sekretaris eksekutif Menteri Luar Negeri Cyrus R Vanve. 

"Saya mengetahui ada hal-hal yang mengganjal. Saya mengetahui saya punya problem dalam masalah itu," demikian Clinton saat berbicara dengan sejumlah tokoh-tokoh Kongres keturunan Yahudi beberapa waktu lalu. Anggota-anggota Kongres tersebut ketika itu berharap agar Clinton berjanji pada mereka agar ia memilih sejumlah anggota-anggota yahudi yang dikenal pro Israel ke dalam jabatan-jabatan sub-kabinet. 

Prof Arief: Derajat Orang Beradab Lebih Utama Dibandingkan Orang Berpendidikan

 

Terhadap manuver kelompok Yahudi, seorang pemimpin organisasi Amerika yang tak mau disebut namanya berkomentar panjang. "Itu boleh-boleh saja," katanya.

"Tapi mengapa ketika berhadapan dengan masalah-masalah wanita, Clinton tidak mengatakan 'jangan khawatir'. Bukankah Hillary akan berada di samping saya mewakili anda? Dan mengapa ketika dihadapkan pada pengangkatan orang-orang hitam dia tidak mengatakan 'jangan khawatir' mengenai jabatan-jabatan kabinet? Ya itulah. Setiap kita dihadapkan pada masalah Yahudi, ya itulah yang kita dengar."  

Para pembantu masa transisi mengatakan, sebenarnya ada dua orang Yahudi telah dicalonkan untuk menduduki jabatan dalam kabinet. Mereka Robert R  Reich sebagai Menteri Perburuhan dan Zoe Baird sebagai Jaksa Agung. 

 

sumber : Dok Istimewa
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement