Rabu 28 Jul 2021 14:00 WIB

Pemakaman Jenazah Covid-19 Tukang Becak Terkendala Regulasi 

Keluarga jenazah tukang becak tak mampu membayar biara pemakaman.

Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Agus Yulianto
Petugas Public Safety Center 119 (PSC 119) bersama petugas puskesmas mengevakuasi jenazah pasien Covid-19 yang meninggal. (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas Public Safety Center 119 (PSC 119) bersama petugas puskesmas mengevakuasi jenazah pasien Covid-19 yang meninggal. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Jenazah tukang becak yang merupakan warga RT 03, Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta sempat tertahan di RSUD Kota Yogyakarta selama tiga hari. Tukang becak yang meninggal akibat Covid-19 ini terlantar dikarenakan keluarga tidak mampu membayar biaya pemakaman.

Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Yogyakarta juga tidak dapat membiayai pemakaman tukang becak yang meninggal 19 Juli 2021 lalu itu. Alasan pembiayaan tidak dapat dilakukan karena almarhum bukan merupakan orang terlantar. Sehingga, proses pemakaman pun menjadi terkendala, salah satunya karena regulasi. 

Kepala Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta, Maryustion Tonang menyebut, biaya pemakaman atau di Yogyakarta disebut bedah bumi yang ditanggung oleh Dinsosnakertrans hanya bagi orang terlantar. "Kalau tidak terlantar ditanggung keluarga atau ahli waris," kata Tion kepada Republika melalui sambungan telepon, Selasa (27/7) malam.

Tion menekankan, orang terlantar yang dimaksud yakni tidak diketahui identitasnya dan tidak memiliki ahli waris. Sementara, tukang becak tersebut tercatat sebagai warga Patehan, Keraton, Yogyakarta.

"Orang terlantar menjadi kewajiban negara dalam hal ini pemerintah untuk memfasilitasi penguburannya. Kasus yang seperti kemarin (jenazah tukang becak terlantar) itu, kalau berbicara terlantar dari segi identitas dia ada, ahli waris ada, tetapi tidak mampu," ujarnya.

Untuk itu, Tion menyebut, dari kasus terlantarnya jenazah tukang becak ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi pihaknya ke depan. Sehingga, regulasi yang ada diupayakan disesuaikan dengan dinamika yang ada di masyarakat.

Diharapkan, kejadian serupa tidak terulang kembali. Dengan begitu, penguburan jenazah Covid-19 yang tidak mampu dapat ditanggung pemerintah dan akhirnya tidak terlantar di rumah sakit.

"Melihat perkembangan dan dinamika yang ada, tentunya perlu kita evaluasi agar jenazah yang meninggal dalam kondisi tidak mampu perlu kita pikirkan. Ini tentunya menjadi pemikiran kita agar kita bisa fasilitas, dari kasus ini bisa jadi bahan evaluasi ke depan," ujarnya.

Seperti diketahui, kelurahan setempat sempat mengirim surat ke dinas sosial agar biaya bedah bumi dapat ditanggung oleh pemerintah. Kepala Pelaksana BPBD Kota Yogyakarta, Nur Hidayat mengatakan, untuk biaya bedah bumi ini urusannya ada di masing-masing wilayah dan dinas sosial.

"Saya (BPBD) di pemakamannya, kita evakuasi dari rumah sakit sampai ke pemakaman setelah pemulasaraan di rumah sakit," kata Nur kepada Republika melalui sambungan telepon, Selasa (27/7).

Nur menjelaskan, di hari meninggalnya tukang becak tersebut, sudah ada informasi masuk ke BPBD Kota Yogyakarta. Namun, lahan pemakaman saat itu belum didapatkan oleh wilayah setempat maupun keluarga.

Sehingga, pihaknya pun menunggu informasi untuk mengevakuasi jenazah dari rumah sakit ke tempat pemakaman. Dikarenakan lahan pemakaman belum didapat, akhirnya pihaknya tidak dapat melakukan proses pemakaman dan menjadikan jenazah terlantar tiga hari di rumah sakit.

"Saya mau menguburkan dimana, itu bedah bumi (mencarikan lahan pemakaman) urusan masyarakat, urusan keluarga," ujarnya.

Nur menyebut, lahan khusus untuk pemakaman Covid-19 tidak ada di Kota Yogyakarta. Namun, pemakaman jenazah Covid-19 dapat dilakukan di seluruh pemakaman yang ada di tiap wilayah.

Sehingga, pencarian lahan pemakaman ini seharusnya dilakukan oleh warga setempat atau keluarga. Saat meninggal, tukang becak tersebut tidak tinggal bersama keluarganya.

Pihak kelurahan pun sempat mencari keluarganya hingga ke Kabupaten Bantul. Saat sudah ditemukan, ternyata keluarga tidak mampu membayar biaya bedah bumi.

"Lingkungan juga harus tanggap, biasanya kalau ada yang meninggal, pihak kampung bisa menanggung biaya dengan menggunakan kas RT/RW. Rumah sakit menunggu, kita juga belum dapat informasi apa-apa dimana mau dimakamkan," tambahnya.

Dikarenakan keluarga tidak mampu, akhirnya Lurah Patehan menggunakan uang pribadinya agar pemakaman tukang becak tersebut dapat dilakukan secepatnya.

"Kita tidak menyalahkan satu sama lain dan alhamdulillah sudah ditangani dan sudah diambil Pak Lurah dan sudah dimakamkan. Intinya saling membantu satu sama lain, permasalahan warga tidak bisa diselesaikan sendiri, harus saling memahami satu sama lain, apalagi dalam keadaan darurat," jelas Nur.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement