Ahad 21 Feb 2021 09:23 WIB

Kemenag Bekali Guru Madrasah Prinsip Islam Moderat

Guru-guru madrasah mendapat pembekalan prinsip Islam moderat

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Guru-guru madrasah mendapat pembekalan prinsip Islam moderat. Seorang guru sedang mengajar di madrasah (ilustrasi)
Foto: Republika/Damanhuri Zuhri
Guru-guru madrasah mendapat pembekalan prinsip Islam moderat. Seorang guru sedang mengajar di madrasah (ilustrasi)

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA – Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kementerian Agama (Kemenag) berupaya membekali guru madrasah dengan pemahaman wasathiyah. Hal ini dilakukan dalam rangka penguatan moderasi beragama di lingkungan madrasah. 

Sebagai salah satu upaya yang dilakukan, Kemenag berusaha membekali para guru tentang  “Wasathiyah dalam Perspektif Fikih dan Ushul Fikih”. Materi ini disampaikan KH Ahmad Ishomuddin, salah satu Syuriah PBNU, dalam Workshop Pengembangan Kompetensi Guru Fikih Madrasah Aliyah/Madrasah Aliyah Kegamaan (MA/MAK).

Baca Juga

Kegiatan ini berlangsung tiga hari, yakni 18-20 Februari di Tangerang. Kiai Ishom mengawali paparannya dengan menjelaskan dua makna wasathiyah. 

"Pertama, wasathiyyat al-ummah (moderasi bagi umat) yang mengandung arti keadilan, kebaikan dan integritas. Ketiganya adalah hal yang pantas bagi umat Islam dan menjadikannya layak menjadi saksi bagi alam semesta," kata dia dalam keterangan resminya, Ahad (21/2). 

 

Kedua, wasathiyyat al-fardi (moderasi bagi individu) yang mengandung makna bersikap sedang dalam setiap urusan dengan cara memilih yang paling utama, terbaik, dan yang lebih adil. 

Dari dua pengertian ini, al-wasathiyyah berarti sifat baik dan sifat utama. Ia menyebut, setiap sifat “tengah-tengah” selalu dibersamai kebaikan sehingga menjadi sesuatu yang utama.  Penjelasan tentang washatiyah terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 143:  

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”  

Dalam Tafsir al-Mawardi karya al-Imam Abu al-Hasan al-Mawardi (364 H - 450 H), diterangkan ayat tersebut menjelaskan tentang ummatan wasathan. 

Di dalamnya, ummatan washatan ini terdapat tiga penafsiran. Pertama, umat pilihan. Kedua, dari al-tawassuth (bersikap sedang) dalam semua urusan. Sebab, kaum muslim bersikap menengah dalam agama, sehingga mereka tidak berlebihan dalam beragama dan tidak pula kurang.  

Ketiga, yang dimaksud dengan al-tawassuth adalah bersikap adil, karena adil berada di tengah antara lebih dan kurang.  

Sebagai umat Islam yang wasathan, Kiai Ishom mengajak para guru madrasah untuk menolak segala bentuk ekstremisme. Guru madrasah juga harus aktif dalam setiap upaya pencegahan tindak ekstremisme dan terorisme. 

"Keduanya tidak sejalan dengan sikap moderat (tawassut) dalam beragama dan bernegara. Keduanya juga sangat merusak citra Islam dan merendahkan kehormatan umat Islam," lanjutnya.

Bahkan, Kiai Ishom mengatakan ektrimisme dan terorisme berentangan secara diametral dengan tujuan syariat. Ia mengingatkan agar citra Islam dan kaum Muslim harus dijaga dan diperindah.

Agama tidak boleh memprovokasi peperangan, pertumpahan darah, saling permusuhan, sikap kebencian, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan. Realitas tragis ini, di mata Kiai Ishom, merupakan penyimpangan dari ajaran agama.

Menurut Kiai Ishom, hal-hal tersebut adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama, yang dalam perjalanan sejarah telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan lelaki.

Hal ini membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Cara-cara ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi, dan kepicikan.

"Agama tidak untuk menghasut orang kepada kebencian, kekerasan, ekstremisme, dan fanatisme buta," kata Kiai Ishom.

Terakhir, ia berpesan setiap kaum Muslim wajib menahan diri dari menggunakan nama Allah, atau atas nama agama, untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, diskriminasi, intoleransi, ekstremisme, terorisme, dan penindasan. Sebab, semua itu, bertentangan dengan wasathiyat al-Islam atau moderasi dalam Islam.   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement