Selasa 22 Sep 2020 21:02 WIB

Cara Hafal Alquran Ulama Maroko dan Teladan Sahabat Nabi SAW

Ulama besar Maroko menerapkan hafalan Alquran dengan contoh para sahabat Nabi.

Ulama besar Maroko menerapkan hafalan Alquran dengan contoh para sahabat Nabi. Ilustrasi menghafal alquran
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Ulama besar Maroko menerapkan hafalan Alquran dengan contoh para sahabat Nabi. Ilustrasi menghafal alquran

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yendri JUnaidi, Lc MA

Sayyid Muhammad Abdul Hayy al-Kattani, seorang ulama besar dari Maroko dan pengarang kitab yang sangat luar biasa tentang sistem pemerintahan Nabi berjudul Taratib Idariyyah, menceritakan tentang seorang guru di salah satu daerah di Maroko bernama Abul Abbas ad-Dar’i.  

Baca Juga

Abul Abbas memiliki sebuah madrasah. Di madrasah itu ia mendidik para murid untuk mendalami ilmu-ilmu Islam. Apa prioritas utamanya? Menghafal Alquran. Tapi bukan menghafal ala zaman now yang bisa ‘dipaksakan’ dalam satu bulan. Ia menerapkan metode seperti yang diterapkan para sahabat Nabi.  

عن أبي عبد الرحمن قال: حدثنا من كان يقرئنا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، أنهم كانوا يقترئون من رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر آيات، فلا يأخذون في العشر الأخرى حتى يعلموا ما في هذه من العلم والعمل، قالوا: فعلمنا العلم والعمل (رواه أحمد فى مسنده)

Abu Abdurrahman as-Sulami (seorang tabi’iy) berkata, “Para sahabat Nabi yang mengajarkan Alquran pada kami mengatakan bahwa mereka menerima (belajar) Alquran dari Rasulullah Saw sepuluh-sepuluh ayat. Mereka belum akan menerima sepuluh berikutnya sampai mereka tahu apa saja yang mesti diketahui dan diamalkan dalam sepuluh ayat tadi. Mereka mengatakan, “Dengan demikian kami tahu ilmu dan amalnya sekaligus.” 

Ini dikuatkan penjelasan langsung dari Ibnu Mas’ud RA:

عن ابن مسعود قال: كان الرجلُ منا إذا تعلَّم عشرَ آياتٍ لم يجاوزهن حتى يعرف معانيَهُن والعمل بهن (رواه الطبري فى تفسيره)

“Kami belajar sepuluh-sepuluh ayat dan belum akan berpindah pada ayat berikutnya sampai kami mengerti makna yang terkandung dalam sepuluh ayat itu dan bagaimana mengamalkannya.”

Oleh karena itu, Abul Abbas membagi satu juz menjadi delapan bagian, atau yang disebut dengan tsumun (seperdelapan), berbeda dengan pembagian yang populer saat ini yaitu rubu’ (seperempat). 

Metode menghafal di masa itu masih menggunakan cara klasik yaitu dengan mencatat ayat yang akan dihafal di atas lauh (papan yang ditulis ayat lalu dihapus setelah dihafal). 

Langkah pertama, murid diminta menulis tsumun yang akan dihafalnya di atas lauh itu. Setelah ia hafal, ia menghadap kepada syekh tajwid untuk membersihkan bacaannya dari sisi makharijul huruf, panjang pendek, dengung dan sebagainya. 

Setelah syekh tajwid menilai bacaannya sudah benar dan bersih, ia menghadap kepada syekh rasm untuk belajar bagaimana menuliskan ayat yang sudah dihafalnya itu dengan benar.  

Sebagaimana diketahui, rasm Alquran bersifat tawqifi. Sebagai contoh, kata ‘shalat’ dalam rasm Utsmani ditulis dengan : الصلوة . Sementara dalam penulisan biasa, hampir semua orang menulis : الصلاة . Menuliskan ayat yang telah dihafal dengan rasm yang benar juga akan semakin memperkuat hafalan seseorang. 

Setelah syekh rasm melisensi tulisannya, ia menghadap kepada syekh qiraat. Di sini ia akan diajarkan wujuh (bentuk-bentuk) qiraat untuk ayat-ayat yang telah dihafalnya.

Setelah itu ia menghadap pada syekh nahwu untuk mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kajian bahasa meliputi nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya. 

Setelah selesai dari syekh nahwu, ia menghadap pada syekh yang terakhir yaitu syekh tafsir. Di sini ia akan diajarkan segala hal yang berkaitan dengan tafsir, fiqih dan istinbath hukum dari ayat-ayat yang sudah dihafalnya. 

Setelah melewati kelima syekh tadi (syekh tajwid, syekh rasm, syekh qira`at, syekh nahwu dan syekh tafsir) dan ia sudah dinilai mujid (bagus) dalam tsumun yang pertama, ia baru boleh melangkah ke tsumun yang kedua dan kembali melewati proses seperti di atas. Begitulah seterusnya. 

Bayangkan… kalau murid ini hafal surat al-Baqarah saja dengan seluruh proses yang ia lewati seperti di atas, bagaimana ia tidak akan menjadi alim?

اللهم فقهنا فى الدين وعلمنا التأويل 

*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement