Ahad 30 Aug 2020 17:14 WIB

Negara Islam Punya Nuklir Disoal, Mengapa Israel Tidak?

Negara Islam dipersoalkan saat punya nuklir sementara Israel tidak.

Negara Islam dipersoalkan saat punya nuklir sementara Israel tidak. Reaktor Nuklir Israel, Dimona
Negara Islam dipersoalkan saat punya nuklir sementara Israel tidak. Reaktor Nuklir Israel, Dimona

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 27 September 2013, Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi 2118 tentang senjata kimia Suriah. Teks Resolusi itu memiliki dua tuntutan yang mengikat secara hukum.

Pertama, Suriah harus menyerahkan semua cadangan senjata kimia mereka. Kedua, para pakar senjata kimia internasional diberikan akses seluas-luasnya untuk memastikan hal itu dilakukan.

Ini adalah resolusi pertama yang dikeluarkan PBB tentang konflik Suriah yang telah berlangsung selama 2,5 tahun, yang menewaskan lebih dari 100 ribu orang dan lebih dari satu juta orang lainnya menjadi pengungsi. Resolusi itu mengacu juga pada Bab 7 Piagam PBB yang memungkinkan penggunaan kekuatan militer.

Tiga hari sebelumnya, anggota Majelis Umum PBB, termasuk Amerika Serikat  dan sekutu Baratnya, menyambut pidato Presiden baru Iran Hassan Rouhani yang simpatik.

Ia bersedia merundingkan masalah program nuklir Iran dengan lima anggota tetap DK PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis, dan Inggris, ditambah Jerman, yang dikenal sebagai 5+1. Rouhani malah meminta agar isu ini bisa diselesaikan dalam waktu tiga-enam bulan.

Ia bersedia memberikan konsesi signifikan yang dikatakan telah disetujui oleh pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Sebenarnya, sebagai anggota NPT (Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir), Iran berhak mengembangkan program nuklir untuk tujuan damai.

Iran juga memperkaya uranium hingga 20 persen, yang dibenarkan bagi anggota NPT. Masalahnya, Amerika Serikat dan sekutu Baratnya tidak percaya bahwa program nuklir Iran itu benar-benar bertujuan damai.

Sikap keras Iran ini mengakibatkan Barat menjatuhkan berbagai sanksi. Terakhir, Barat menjatuhkan sanksi  ekonomi yang menghentikan impor minyak Iran. Barat masih percaya bahwa sanksi dapat memaksa Iran menyetujui tuntutan Barat, di antaranya menghentikan program pengayaan uranium, menutup instalasi nuklir bawah tanah di Fordo, dekat Qum, dan menyerahkan uranium yang sudah diperkaya ke PBB.

Israel malah mendesak Amerika Serikat agar melancarkan serangan militer ke situs-situs nuklir Iran, namun Amerika Serikat menahan diri karena risikonya terlalu besar. Tapi, Amerika Serikat menyatakan opsi militer masih terbuka dan akan digunakan kalau sanksi ekonomi dan upaya diplomatik tak dapat menyelesaikan isu ini.

Ternyata sanksi ekonomi Barat atas Iran berbuah hasil. Negara Teluk Persia inipun kehilangan 20 persen devisa dari ekspor minyaknya. Karena tekanan Amerika Serikat, Cina, Korea, dan Jepang juga mengurangi impor minyak Iran.

Sementara itu, muncul pertanyaan bagaimana dengan Israel yang memiliki sekitar 200-300 hulu ledak nuklir? Seharusnya Barat konsisten menerapkan sanksi pada negara-negara di luar lima negara anggota tetap DK PBB untuk memiliki senjata pemusnah massal. Di sinilah terlihat standar ganda Amerika Serikat dan sekutu Baratnya. 

Mereka melihat bahaya bila senjata kimia, biologi, dan nuklir kalau berada di tangan Muslim, tapi tidak kalau berada di tangan Yahudi. Ini diskriminasi rasialis berlatar agama. Padahal, Israel hampir menggunakan senjata nuklir dalam perang 1973.  

Pada Oktober 1973, pada hari Yom Kapur, Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel. Mesir berhasil merobohkan tembok Barlev di tepi Terusan Suez, yang diyakini Israel merupakan tembok terkuat yang tak mungkin bisa diterobos Mesir, dan menghancurkan kekuatan militer Israel di situ. Ribuan tentara Israel tewas dan tentara Mesir berhasil menyeberang Terusan Suez dan maju ke Gurun Sinai hingga 10 kilometer. 

Di timur, tentara Suriah sukses memukul mundur tentara Zionis di Dataran Tinggi Golan dan menewaskan ribuan tentara Yahudi. Saat itu rakyat Israel merasa holocaust akan terjadi lagi sehingga mereka menggunakan semacam kafan untuk menyambut kematian. Saat itu, para pemimpin Israel telah mempertimbangkan untuk menggunakan senjata nuklir untuk menghancurkan dua musuhnya itu. 

Rencana itu tak sempat dilaksanakan karena Amerika Serikat turun tangan dengan menerbangkan berbagai jenis senjata canggih untuk Israel dalam melawan musuhnya sehingga Mesir dan Suriah tidak dapat maju lebih jauh untuk mengambil kembali Gurun Sinai milik Mesir dan Golan milik Suriah yang direbut Israel dalam Perang 1967.

Jadi, setelah Suriah menyerahkan senjata kimianya dan Iran menghentikan program nuklirnya, seharusnya AS dan sekutu Baratnya  menekan Israel untuk juga menyerahkan senjata nuklirnya sehingga kawasan Timur Tengah yang bergolak itu bebas dari senjata pembunuh massal.  

*Naskah ini merupakan cuplikan esai Smith Alhadar, berjudul Senjata Pembunuh Massal, yang diterbitkan Harian Republika pada 2013

 

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement