Rabu 03 Jun 2020 18:43 WIB

Myanmar Tolak Jaminan untuk Pendeta Kanada

Misa yang digelar pendeta Kanada itu jadi salah satu klaster penyebaran covid-19.

Palu hakim (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON  -- Pengadilan di Myanmar pada Rabu menolak jaminan bagi seorang pendeta Kristiani berkebangsaan Kanada. Ia ditahan aparat keamanan setempat karena melanggar aturan pembatasan untuk menekan penyebaran Covid-19.

David Lah, seorang warga Kanada yang tinggal di Myanmar, bersama seorang warga setempat, Wai Tun, menggelar ibadah misa saat pemerintah melarang pengumpulan massa selama pandemi.

Baca Juga

Lah dan Tun pun dituntut hukuman penjara selama tiga tahun karena melanggar Undang-Undang Penanggulangan Bencana ketika keduanya menggelar ibadah misa di Kota Yangon pada April.

Otoritas di Myanmar melarang warga berkumpul sejak pertengahan Maret. "Untuk tuntutan hukum dengan ancaman tiga tahun penjara atau lebih, kami tidak perlu mengabulkan permintaan (bebas dengan) jaminan," kata Hakim Moe Swe ke awak media setelah sidang.

Hakim mengatakan pengacara Lah telah mengajukan jaminan. Namun, wartawan tidak diizinkan mengikuti persidangan dan penasihat hukum Lah belum dapat dihubungi untuk mengonfirmasi keterangan tersebut.

"Sekitar 20 orang yang mengikuti misa itu dinyatakan positif tertular Covid-19," kata seorang pejabat pemerintah.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Thar Tun Kyaw mengatakan, gereja itu pun jadi klaster penularan virus yang menyebabkan 67 orang lainnya, termasuk Lah, ikut terserang Covid-19.  Covid-19, penyakit yang disebabkan virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) telah menyerang lebih dari enam juta warga dunia dan menewaskan lebih dari 37.600 jiwa.

Klaster penularan virus di beberapa negara kerap terjadi di acara keagamaan. Myanmar sejauh ini mencatat 233 orang telah tertular Covid-19 dan enam di antaranya meninggal dunia. Myanmar merupakan negara dengan mayoritas penduduk penganut Buddha, tetapi enam persen penduduknya memeluk agama Kristen.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement