Boleh Shalat Id al-Fitr di Rumah, Selama Masih Ada Wabah

Red: Agus Yulianto

Jumat 08 May 2020 16:05 WIB

AA Gym atau KH Abdullah Gymnastiar memimpin Shalat Ied (ilustrasi) Foto: Kedubes Indoonesia di Swiss AA Gym atau KH Abdullah Gymnastiar memimpin Shalat Ied (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama sepakat bahwa shalat ied al-fitr atau Idul Fitri umumnya orang mengatakan merupakan ibadah yang disyariatkan pada tanggal 1 Syawwal. Namun, jika ada taklif atau beban syariat pelaksanaan shalat ‘ied ini berjamaah gugur jika dalam kondisi tidak normal seperti ada wabah corona, maka pelaksanaanya dikerjakan di rumah masing-masing.

"Sehingga jamaah tidak dapat diadakan," katanya Ustaz Isnan Ansory, Lc,.M.Ag dalam bukunya "I’tikaf, Qiyam al-Lail, Shalat ’Ied dan Zakat al-Fithr di Tengah Wabah"

Terkait masih terjadi pandemi corona memang banyak pertanyaan apakah ada ketentuan untuk melakukannya di rumah secara mandiri?

Ustaz Isnan menyampaikan, ada beberapa ketentuan terkait hukum shalat Id Fitri di rumah. Mayoritas ulama selain mazhab Hanafi, berpendapat bahwa shalat ‘ied tetap disyariatkan untuk dilakukan di rumah secara mandiri, jika memang tidak bisa dilakukan secara berjamaah di masjid atau di lapangan.

Imam an-Nawawi berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab. "Para ulama sepakat berdasarkan hadits-hadits yang shahih bahwa disunnahkan shalat id secara berjamaah. Namun jika shalat ini dilakukan secara mandiri (munfarid), maka menurut mazhab (Syafi’i), shalatnya sah."

Di samping itu, shalat ini dapat pula dilakuan secara berjamaah antara anggota keluarga di rumah. Imam an-Nawawi berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab.

"Apakah disyariatkan shalat id atas hamba sahaya, musafir, wanita dan munfarid (sendirian) di dalam rumah atau di tempat lainnya?. Ada dua jalur periwayatan dalam mazhab Syafi’I, dan yang paling masyhur dan pasti bahwa hal itu juga."

Bagi pendapat yang tetap mensunnahkan shalat id untuk dilakukan di rumah, menegaskan, bahwa tidak ada peredaan yang berarti dalam praktik pelaksanaanya. Apakah shalat ‘id dilakukan secara berjamaah atau sendiri-sendiri. Apakah dilakukan di masjid atau di rumah.

Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menghukuminya dalam kondisi normal. Ustaz Isnan mengatakan, mazhab pertama menghukumi ibadah ini wajib.

"Kalangan al-Hanafiyyah berpendapat bahwa hukum melakukan shalat id al-fitr adalah wajib," katanya.

Namun istilah wajib dalam mazhab ini, berbeda dengan istilah fardhu. Sebab mereka membedakan antara fardhu dan wajib. Di mana meninggalkan perkara fardhu seperti shalat lima waktu dapat  mendatangkan dosa, tapi meninggalkan wajib tidaklah berdosa namun dapat dicela.

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan" Shalat dua id menurut pendapat yang difatwakan oleh kalangan al-Hananfiyyah adalah wajib, yaitu posisi hukum antara fardhu dan sunnah. Dan dasar mereka adalah perbuatan Rasulullah SAW yang tidak pernah meninggalkannya selama hidup beliau.

Sementara mazhan kedua menghukuminya fardhu kifayah. Kalangan al-Hanabilah berpendapat bahwa hukum melakukan shalat ied al-fithr adalah fardhu kifayah. Dalam arti, jika di suatu masyarakat muslim, shalat ini tidak dilakukan oleh sebagian di antara mereka, maka berdosalah seluruh masyarakat tersebut.

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan." Kalangan al-Hanabilah berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah, atas dasar firman Allah SWT, “Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Dan juga berdasarkan perbuatan Rasulullah saw yang tidak pernah meninggalkannya selama hidup beliau.

Semantara Mazhab Ketiga: Sunnah Mu’akkadah. Kalangan al-Malikiyah dan asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa hukum melakukan shalat id al-fitr adalah sunnah mu’akkadah. Dalam arti jika ada seorang muslim atau suatu masyarakat muslim,sengaja untuk tidak melakukannya, maka hal itu tidak  berakibat dosa.

Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyyah al-Kuwaitiyyah disebutkan. Adapun kalangan asy-Syafi’iyyah dan al Malikiyyah, mereka berpendapat bahwa  hukumnya adalah sunnah mu’akkadah. Hal ini berdasarkan hadits shahih tentang seorang Arab Badui yang bertanya kepada Nabi tentang shalat yang difardhukan. Lalu Nabi menjawab bahwa hanya shalat 5 waktu. Dan ketika Badui tersebut bertanya lagi, apakah ada lainnya yang fardhu?. Rasulullah saw menjawab: Tidak, kecuali engkau ingin menambah dengan yang sunnah. (HR. Bukhari Muslim).

Ustaz Isnan memastikan, bahwa hukum yang diperselisihkan di atas adalah jika pelaksanaan shalat id fitr dalam kondisi normal. Adapun jika dalam kondisi tidak normal seperti adanya ancaman pandemik corona sebagaimana saat ini, maka gugurlah taklif atau beban syariat untuk melakukan ibadah yang bersifat jamaah ini.

Hal itu kata dia, seperti disampaikan Imam ‘Ala’uddin al-Mardawi (w. 885 H) berkata dalam kitabnya al-Inshof fi Ma’rifah ar-Rajih min al-Khilaf. Diberikan uzur untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah bagi orang yang sakit, tanpa ada perselisihan. Dan juga diberikan uzur dalam menginggalkan keduanya bagi yang takut tertimpanya penyakit.

Adapun kata Ustaz Isnan, tentang waktu pelaksanaan shalat id al-Fitri, para ulama umumnya sepakat bahwa di antara syarat sah pelaksanaan shalat id al-fitri adalah  dilakukan pada waktunya. Di mana waktu pelaksanaan shalat id fitri adalah setelah terbitnya  matahari hingga menjelang waktu Zhuhur. 

"Maka, dapat dipastikan bahwa waktu pelaksanaan shalat id al-fitri, mirip dengan waktu pelaksanaan shalat dhuha," katanya.

Maka atas dasar ini, tidak sah shalat ied al-fithri dilakukan sebelum terbitnya matahari, atau setelah masuk waktu zhuhur. Meskipun dalam mazhab Syafi’i, dibolehkan untuk dilakukan setelah Zhuhur atas dasar niat qadha bukan ada.