Cara Muslim di Dunia Siapkan Ramadhan dalam Bayang Covid-19

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil

Jumat 03 Apr 2020 16:20 WIB

Cara Muslim di Dunia Siapkan Ramadhan dalam Bayang Covid-19. Foto: Ilustrasi Ramadhan Foto: Pixabay Cara Muslim di Dunia Siapkan Ramadhan dalam Bayang Covid-19. Foto: Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat dinantikan umat Muslim setiap tahunnya. Umat Muslim biasanya menyambut bulan berkah itu dengan penuh suka cita. Pasar biasanya ramai orang yang mempersiapkan Ramadhan dan undangan berbuka puasa bersama menjadi bagian penting ketika datang bulan suci itu.

Namun, Ramadhan tahun ini nampaknya berbeda. Dalam waktu kurang dari satu bulan menjelang Ramadhan yang dimulai pada 24 April 2020 mendatang, ketakutan akan ancaman virus corona menyelimuti masyarakat. Tradisi untuk berbuka puasa dan kumpul bersama keluarga tampaknya sulit dilakukan pada Ramadhan tahun ini.

Baca Juga

Saat ini, dunia dalam masa lockdown (karantina). Masjid-masjid ditutup dan bahkan kegiatan umrah di Arab Saudi juga dihentikan sementara. Sementara itu, wabah virus corona tidak menunjukkan tanda-tanda surut dalam waktu dekat. Meski tahun ini ibadah-ibadah di bulan Ramadhan kemungkinan tidak dilakukan di masjid, namun kondisi saat ini tidak menyurutkan umat Muslim untuk mempersiapkan diri menyambut bulan suci itu.

Seorang pengacara berbasis di Kuwait, Ahmed, misalnya, bersiap-siap dengan meluncurkan sebuah kelompok ibadah daring. Ia mengungkapkan, bahwa ibadah adalah pilar Islam sepanjang tahun. Akan tetapi, di bulan Ramadhan ibadah akan lebih istimewa.

"Kami juga terbiasa melakukan sholat tarawih setelah berbuka selama bulan Ramadhan dan keindahannya adalah Anda bisa melakukan itu dengan teman-teman dekat dan anggota keluarga," kata Ahmed kepada StepFeed, dilansir Jumat (3/4).

Ahmed meyakini, bahwa shalat berjamaah sangat penting karena itu memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat umat. Karena itu, menurutnya, penting untuk menjaga hubungan di antara mereka yang biasanya kerap beribadah bersama, bahkan jika itu tidak secara fisik.

"Saya meluncurkan grup ibadah daring. Sejauh ini 14 kerabat dan teman saya telah bergabung dan kami berpikir untuk menerima lebih banyak orang. Kami akan terhubung melalui platform panggilan video untuk satu ibadah setiap Ramadhan. saya berpikir setiap kelompok teman dan keluarga harus melakukan hal yang sama," tambahnya.

Ahmed dan kelompoknya telah sepakat, bahkan jika masjid terbuka selama Ramadhan, mereka akan tetap pada rencana mereka. Sebab, mereka percaya bahwa risiko tertular virus corona akan tetap tinggi sampai Ramadhan.

Di Arab Saudi, seorang desainer grafis bernama Reemas juga merasakan pilu akan kondisi wabah seperti ini. Seperti semua orang di negara itu, ia juga berharap virus corona akan berakhir bulan depan. Meski demikian, ia juga tidak terlalu berharap penuh. Sebab, infeksi virus ini meningkat dan orang-orang mulai merasakan dampak dari kebijakan lockdown.

Di Kerajaan Saudi, pemerintah menetapkan jam malam dimulai dari pukul 15.00 hingga 6.00 untuk menimimalkan jumlah infeksi. Meskipun Reemas memahami tujuan kebijakan ini, namun ia memandang bahwa pemberlakuan jam malam telah menunjukkan perubahan drastis pada tradisi orang Saudi kala menyambut bulan Ramadhan.

"Saya selalu merasa damai sebelum Ramadhan, tahun ini saya kewalahan. Sebagian besar teman saya juga merasakan hal yang sama karena semuanya tidak stabil saat ini," kata Reemas.

Tradisi untuk berbuka puasa bersama dilakukan oleh umat Islam hampir di seluruh dunia. Di Mesir, keluarga besar biasanya bertemu setiap hari selama Ramadhan. Sarah, wanita berusia 27 tahun asal Mesir, mengungkapkan bahwa saat ini tinggal sendirian di Kairo. Karena itu, ia secara mental mempersiapkan buka puasa dalam kondisi isolasi.

Ia mengungkapkan, bahwa sulit untuk menerima kenyataan bahwa wabah virus corona terjadi di saat Ramadhan kian dekat. Ia juga kemungkinan tidak berbuka puasa bersama keluarganya. Namun, menurutnya, tidak ada cara lain atau ia akan membahayakan orang tua dan kakek neneknya.

Baik bagi Sarah atau pun jutaan Muslim lainnya, ini akan menjadi pertama kalinya tidak merasakan semangat Ramadhan seperti biasanya. Sebab, orang-orang akan sibuk mewaspadai diri dari virus corona.

"Wabah pasti mengubah cara kita semua merencanakan Ramadhan. Saya lebih fokus pada mereka yang membutuhkan tahun ini," kata Sarah.

Sementara itu, seorang desainer grafis yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Manal (29) mengungkapkan bahwa ia selalu mempersiapkan Ramadhan selama beberapa pekan. Tahun ini, ia bahkan tidak ingin membeli bahan makanan untuk Ramadhan. Menurutnya, perjalanan ke supermarket menakutkan dan melelahkan karena penyakit ini.

"Saya pergi sekali dan hanya bisa fokus pada kebutuhan yang kita butuhkan untuk pergi di tengah masa lockdown ini. Saya tidak bisa memikirkan atau merencanakan lebih jauh," kata Manal.

Seorang dokter asal Kuwait, Loolwa, mengatakan bahwa semuanya berbeda tahun ini. Secara pribadi, kata dia, krisis ini mengingatkannya pada esensi sejati dari bulan suci yang sebenarnya, yakni tentang membantu orang. Ketimbang pergi atau berpikir apa yang harus dibeli, menurutnya, tahun ini sebaiknya dijadikan kesempatan untuk kembali mengalami makna di balik Ramadhan. Petugas medis muda ini dan banyak rekannya berharap, masyarakat bisa memanfaatkan bulan suci nanti untuk membantu mereka dalam memerangi penyakit akibat virus corona.

"Saya lebih fokus pada mereka yang membutuhkan tahun ini dan saya pikir kita semua seharusnya sudah selama ini. Fakta bahwa Ramadhan mendekati selama waktu ini adalah pengingat bagi kita semua untuk mengalihkan fokus kita ke apa yang benar-benar penting," kata Loolwa.

Sementara itu, di kampung halaman Reem di Libanon, Ramadhan selalu bermakna dengan adanya pertemuan keluarga. Namun, Reem menyadari bahwa tahun ini keadaan berbeda.

Ia mengatakan, pertemuan keluarga selama Ramadhan adalah tradisi yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Biasanya, mereka bertemu untuk berbuka puasa. Bahkan, kata dia, ada lebih dari 50 orang yang berkumpul dalam keluarga untuk berbuka puasa bersama itu.

"Tahun ini kita sudah sepakat kita tidak akan melakukan itu karena kita perlu memperhatikan kesejahteraan anggota keluarga yang lebih tua," kata Reem.

Namun demikian, Reem (26) mengatakan bahwa kondisi wabah itu tidak serta merta akan merusak tradisi keluarga. Pasalnya, ia telah menyusun rencana untuk tetap melakukan tradisi demikian saat Ramadhan nanti. Ia akan mengajak keluarganya untuk berkumpul melalui aplikasi daring. Reem memandang ini adalah langkah teraman agar mereka tidak begitu merasa terisolasi dan sebagai langkah pencegahan untuk melindungi semua orang dari penularan virus corona.

"Semoga saja internet di Libanon tidak akan mengecewakan, rencananya saya tetap berbuka puasa secara daring. Saya telah membuat akun Skype untuk nenek, bibi dan paman saya dan kami memiliki beberapa pekan untuk mempraktikannya," kata Reem.