Senin 30 Mar 2020 17:10 WIB

IHSG Melemah, Pasar Nantikan Kepastian Lockdown

Investor masih akan terus memantau pertumbuhan kasus pandemi.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Karyawan melintas di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. IHSG ditutup melemah pada penutupan perdagangan Senin (30/3) seiring pantauan investor atas kepastian kebiajakan lockdown oleh pemerintah.
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan melintas di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. IHSG ditutup melemah pada penutupan perdagangan Senin (30/3) seiring pantauan investor atas kepastian kebiajakan lockdown oleh pemerintah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) konsisten berada di zona merah hingga penutupan perdagangan Senin (30/3). Indeks saham melemah 2,8 persen atau turun sebesar 131.07 poin kelevel 4.414,50.

Analis Reliance Sekuritas Indonesia, Lanjar Nafi mengatakan, IHSG masih mendapat tekanan dari penyebaran Covid-19. Sebelumnya, IHSG sempat terhenti karena menyentuh batas trading halt lima persen di awal sesi perdagangan. 

Baca Juga

Waktu perdagangan yang lebih pendek, menurut Lanjar, membuat transaksi hari ini cenderung sepi. Menurut Lanjar, pasar menantikan kebijakan pemerintah dalam mengatasi virus corona. 

"Investor akan menanti hasil keputusan pemerintah perihal pembatasan wilayah (lockdown) guna mencegah menyebaran pandemi," kata Lanjar, Senin (30/3). 

Lanjar mengatakan investor masih akan terus memantau pertumbuhan kasus pandemi sebagai tolok ukur membaiknya krisis kesehatan. Dari sisi eksternal, investor juga menanti pidato Trump di awal pekan waktu AS serta data Indeks Kinerja Manufatur di China. 

Sementara itu, mayoritas bursa saham Asia ditutup melemah dengan Indeks Nikkei turun 1,57 persen, TOPIX turun 1,64 persen dan Hang Seng terkoreksi 1,43 persen serta CSI-300 melemah 0,97 persen. 

Lanjar melihat, berita negatif dari pandemi sangat menjadi perhatian pasar global saat ini. Selain itu, langkah stimulus yang dikeluarkan sejumlah bank sentral negara justru memicu risiko terjadinya krisis ekonomi setelahnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement