Sabtu 01 Feb 2020 21:17 WIB

Sejarah Bertaburan Muslimah Cerdik Pandai, Fatimah Contohnya

Fatimah binti Yahya merupakan seorang mujtahidah yang hidup abad ke-9.

Rep: MgRol 127/ Red: Nashih Nashrullah
Fatimah binti Yahya merupakan seorang mujtahidah yang hidup abad ke-9. Ilustrasi Ilmuwan Muslimah
Foto: Mgrol120
Fatimah binti Yahya merupakan seorang mujtahidah yang hidup abad ke-9. Ilustrasi Ilmuwan Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Kali ini kisah menarik berasal dari seorang Muslimah ahli fikih bernama Fatimah binti Yahya. 

Kisah ini diceritakan Bintus Sabil dalam bukunya yang berjudul Wanita Muslimah yang Mengajari Suaminya. 

Baca Juga

Fatimah binti Yahya adalah seorang mujtahidah abad ke-9. Mujtahidah (bentuk feminin dari mujtahid) adalah seorang ulama yang cakap yang dapat membuat deduksi (menarik kesimpulan) dari sumber-sumber hukum Islam. 

Pada gilirannya, mereka menggunakan kesimpulan ini untuk memberikan hukum sesuai dengan keadaan dan kebutuhan seseorang dari masyarakat.

Bagi orang yang diberi gelar mujtahidah harus memiliki ilmu ijma para sahabat dan yang menyelisihinya, para pengikut mereka (tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan ulama-ulama fikih dan mujtahid yang terkemuka. 

Karenanya untuk menjadi seorang mujtahidah bukan perkara yang mudah, namun Fatimah binti Yahya pantas mendapatkannya. Sedemikian ilmunya, sehingga ayahnya, seorang ulama yang juga memiliki banyak murid , ditanya Fatimah berkenaan dengan beberapa perkara fikih. 

Ulama besar asy-Syaukani berkata mengenai dirinya: “Dia sangat dikenal karena ilmunya. Dia telah mendebat ayahnya dalam beberapa perkara fikih.

Ayahnya, sang imam, membenarkan bahwa Fatimah melakukan ijtihad dalam menarik kesimpulan hukum. 

Hal ini menunjukkan akan kelebihan ilmunya, karena sang imam tidak akan berkata demikian kecuali bagi orang yang pantas mendapatkannya.” (Asy-Syaukani, al-Badr at-Tali, II, 24.) 

Ayahnya menikahkannya dengan seorang ulama Al-Mutahar ibn Muhammad Sulaiman ibn Muhammad (wafat tahun 879H). 

Al-Mutahar sangat beruntung karena kapanpun dia bimbang dalam suatu perkara, dia akan merujuk kepada istrinya untuk menilai perkara fikih yang sulit.  

Bahkan di tengah-tengah para muridnya, ketika dia terbentur pada sebuah perkara yang rumit, dia akan bangkit lalu menuju ke balik tirai, dimana sang mujtahidah duduk di baliknya.  

Ketika dia kembali dengan jawaban, murid-muridnya berkata: “Ini bukan darimu, melainkan dari orang yang berada di balik tirai.” (al-Hibasyi, Mu’jam an-Nisa al-Yamaniyah, 149)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement