Jumat 07 Feb 2020 20:18 WIB

Abdullah bin Umar, Sang Peniru Nabi Muhammad

Abdullah bin Umar dikenal sebagai peniru Nabi Muhammad.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Abdullah bin Umar, Sang Peniru Nabi Muhammad. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi
Foto: MgIt03
Abdullah bin Umar, Sang Peniru Nabi Muhammad. Foto: Ilustrasi Sahabat Nabi

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Pria ini mulai mengikuti jejak Nabi Muhammad sejak usia 13 tahun. Di saat dia menemani ayahandanya Umar bin Khattab dalam Perang Badar. Namanya Abdullah bin Umar. Suatu ketika anak ini berharap diizinkan mendapatkan posisi paling depan sebagai pejuang. Namun, ditolak oleh Rasulullah karena usianya yang masih muda.

Namun, Abdullah tak menyerah, dia tetap menemani ayahnya ketika hendak hijrah ke Madinah. Dia tetap menepati janjinya di jalan Allah hingga usia senja. Abdullah dikenal sebagai sosok peniru Rasulullah. Bahkan ketika hendak shalat, dia meniru gaya Rasulullah menunggangi unta.

Baca Juga

Baru kemudian shalat dua rakaat seperti yang dilakukan Rasulullah. Aisyah, istri Rasulullah memuji kesetiaan Abdullah. Tak seorang pun mengikuti jejak langkah Rasulullah SAW, di tempat-tempat pemberhentiannya, sebagai dilakukan oleh Ibnu Umar!

Perawi hadis yang berhati-hati Karena ketekunannya selalu mengikuti langkah Nabi, dia pun sering menjadi perawi hadis. Namun, dia selalu bersikap hati-hati dalam menyampaikannya. Dia tidak akan menyampaikan hadits Rasulullah, jika tidak ingat dengan seluruh kata-kata Rasulul lah. Ini karena dia tidak ingin terselip atau berkurangnya satu huruf saja dari apa yang disampaikan Rasulullah.

Tak hanya itu, ketika memberikan fatwa, dia tetap berhati-hati dan menjaga diri. Dia pun tidak berijtihad karena khawatir fatwa yang diberikannya salah. Dia juga menolak ketika ditawari jabatan hakim oleh Utsman bin Affan. Karena amanah itu hanya ada tiga macam; hakim yang tanpa ilmu dan hakim yang menggunakan nafsu akan masuk neraka. Sedangkan hakim yang ijtihadnya benar adalah yang adil, tetapi tidak berdosa dan tidak berpahala.

Utsman berharap alasan tersebut tidak tersebar karena khawatir banyak masyarakat yang mengikuti jejaknya, sehingga tak ada lagi yang mau menerima jabatan hakim. Namun, bukan berarti tindakan Abdullah adalah kurang tepat. Karena dia berpikir masih banyak sahabat Rasulullah yang dapat memegang jabatan tersebut. Abdullah berharap untuk selalu meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah.

Apalagi, saat itu Islam sedang berjaya, umat Islam begitu mudah mendapatkan harta dan jabatan. Maka hal itu menjadi ujian bagi Abdullah. Ketika remaja, Abdullah pernah bermimpi. Di masa Rasulullah SAW saya bermimpi seolah-olah ditanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingin di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana. Hafshah, saudaranya, menceritakan mimpi tersebut kepada Rasulullah.

Sang Nabi berkata Abdullah akan menjadi laki-laki yang paling utama masuk surga, seandainya dia sering shalat malam dan banyak melakukannya. Sejak saat itu hingga ujung usia, dia tak pernah meninggalkan Qiyamul lail saat bermukim maupun menjadi musafir. Dia menghidupkan malam dengan shalat, membaca Alquran dan berzikir menyebut Allah hingga bercucuran air mata ketika mendengar ayat Alquran tentang peringatan.

Menolak menjadi khalifah

Kendati berulang kali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, dia menolaknya. Hasan RA meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!"

Namun, Ibnu Umar menyahut: "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku." Massa di luar mengancam: "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"

Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan.

Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.

"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka. "Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran. "Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang. Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."

Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya. Lantas apa yang kita lakukan terhadap orangorang bagian timur? Kita gempur mereka sampai mau berbaiat. "Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," kata Ibnu Umar.

Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan: Siapa yang berkata, 'marilah shalat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'marilah menuju keba hagiaan' akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'marilah mem bunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya', maka saya katakan, tidak!

Berkatalah Abul 'Aliyah al-Barra: Pada suatu hari saya berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka saya dengar ia berbicara kepada dirinya: 'Mereka letakkan pedangpedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: Hai Abdullah bin Umar ikut lah dan berikan bantuan . sungguh sangat menyedihkan.

la amat menyesal dan duka melihat darah Kaum Muslimin tertumpah oleh sesamanya. Dan sekiranya ia mampu menghentikan peperangan dan menjaga darah tertumpah pastilah akan dilakukannya, tetapi ternyata tidak mengizinkan, oleh sebab itu dijauhinya. Sebe tulnya hati kecilnya berpihak ke pada Ali. Penolakannya berperang di pihak Ali yang sebenarnya mempertahankan haq dan berada di pihak yang benar, dilakukan nya bukan dengan maksud hendak lari atau menyelamatkan diri.

Namun, adalah karena tidak setuju dengan semua perselisihan dan fitnah. Serta menghindari peperangan yang terjadi. Hal itu dijelaskannya dengan gamblang ketika ia ditanyai oleh Nafi': Hai Abu Abdurrahman, anda adalah putera Umar dan sahabat Rasulullah SAW. Tetapi apa yang menghalangi anda bertindak? mak sudnya membela Ali.

Maka ujarnya: Sebabnya ialah kare na Allah Ta'ala telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim. Perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu semata ikhlas karena Allah. (QS 2 al-Baqarah: 193). Nah, kita telah melakukan itu dan memerangi orang-orang musyrik, hingga agama itu semata bagi Allah, tetapi sekarang apa tujuan kita berperang.

Saya telah mulai berperang semenjak berhala-berhala masih memenuhi Masjid al-Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua itu dibasmi Allah dari bumi Arab, Sekarang, apakah saya akan memerangi orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah, tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah?

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement