Rabu 05 Feb 2020 07:50 WIB

Catatan Buya Hamka Soal Kepiawaian Politik Muawiyah

Buya Hamka menulis bahwa Muawiyah seorang yang berarti tutur katanya.

Catatan Buya Hamka Soal Kepiawaian Politik Muawiyah. Foto: Buya Hamka
Catatan Buya Hamka Soal Kepiawaian Politik Muawiyah. Foto: Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Muawiyah bin Abu Sufyan adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad SAW menjadi Nabi.

Sejumlah riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah saat Fathu Makkah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ namun menyembunyikan keislamannya sampai terjadinya Fathu Makkah.

Baca Juga

Di masa Nabi Muhammad, Muawiyah diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. “Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.

Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah ditugaskan menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Umat Islam berhasil  menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan  Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Sejumlah kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan sahabat Nabi, Umar bin Khattab.

Ketika sahabat Nabi, Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah ditugaskan sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian di kedua belah pihak.

Ketika Khalifah Ali terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah.

Muawiyah merupakan sahabat Nabi yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam. Dia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Nabi Muhammad atau Khulafaur Rasyidin.

Muawiyah juga tak lepas dari kritik. Hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa. Namun, semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah dan ia juga dijuluki paman kaum Mukmin karena saudarinya ada yang menjadi istri Nabi.

Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan praktisi politik yang sangat ulung. Ungkapannya yang terkenal adalah, “Aku tidak akan menggunakan pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.”

Prof Dr Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, ketua umum MUI pertama, dalam bukunya Sejarah Umat Islam, mencatat tentang kepiawaian Muawiyah dalam berpolitik. Buya Hamka menuliskan, Muawiyah adalah seorang yang panjang akal, cerdik, cendikiawan, bijaksana, serta luas ilmu dan strateginya.

“(Muawiyah) pandai mengatur pekerjaan, ahli hikmah, lemah lembut, fasih lidahnya dan berarti tutur katanya,” tulis Buya Hamka.

Buya Hamka menuliskan, siapapun orang yang mendekat kepada Muawiyah, jarang tidak terikat oleh tutur katanya. Dia pemaaf pada tempat yang pantas dimaafkan, keras pada tempat yang layak untuk dikeraskan.

“Tetapi lebih banyak maafnya dari marahnya,” tulis Buya Hamka.

photo
Peta wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah.

Sebagai contoh, sahabat-sahabat Nabi yang merupakan anak-anak kalangan Quraisy pernah datang kepadanya seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdurrahman bin Abu Bakar, dan beberapa keturunan dari Abu Thalib (yang pernah berselisih dengannya), semuanya diterima dengan muka yang jernih dan bibir tersenyum. Ada yang memaki Muawiyah dia tersenyum juga, ada yang menyindirnya dia tersenyum juga.

“Sindiran orang-orang itu seakan-akan tidak didengarnya dan bila mereka kembali ke negerinya masing-masing, semuanya diberi anugerah selayaknya,” tulis Buya Hamka.

Buya Hamka juga mencatat Muawiyah sebagai orang yang berambisi. Soal hal ini, Buya Hamka menuliskan kisah ketika Muawiyah tidur berlepas lelah dekat saudara perempuan Ummul Mukminin Ummi Habibah dan kepalanya terletak di atas haribaan beliau. Maka, masuklah Nabi Muhammad ke dalam. Dengan segera Ummi Habibah menghindarkan kepala adiknya yang disayanginya itu.

Kemudian, Nabi berkata "Sayangkah engkau akan adikmu itu, hai Ummi Habibah? Patutlah dia disayangi! Kelak dia akan menjadi orang besar Arab seluruhnya."

Muawiyah pun berkata, "Sabda inilah yang amat mempengaruhi jiwaku, hingga sejak saat itu tidak lepas-lepas ingatanku keinginan menjadi orang besar."

Memang, di masa Muawiyah menjadi khalifah, umat Islam memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya penyebaran agama Islam, tetapi juga sejumlah penemuan tentang ilmu pengetahuan.

Ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk memperluas jajahannya, mereka tiba di beberapa daerah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium itu, Muawiyah mengerahkan 1.700 kapal perang kecil yang mampu menghalau pasukan musuh. Dengan tidak mengenal lelah, umat Islam saat itu menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di Laut Tengah.

Di samping itu, pada tahun 50 Hijriyah, Muawiyah mengangkat Uqbah bin Nafi’ menjadi gubernur di Maroko di utara Afrika. Dengan 10.000 pasukan ia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi. Ia juga dapat mengalahkan penduduk asli Afrika. Lebih dari itu semua, ia telah meletakkan pondasi Daulah Umawiyah yang telah mengharumkan nama Islam selama ratusan tahun.

Dilihat dari karier politik kenegaraannya, Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Palestina selama 10 tahun, di Syam 10 tahun, serta sebagai Khalifah Daulah Umawiyah selama 20 tahun. Sahabat Nabi itu meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 Hijriyah dalam usia 78 tahun.

photo
Kriteria menjadi sahabat Umar bin Khattab (Infografis)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement