Kamis 23 Jan 2020 04:27 WIB
Islam di Jawa

Peran Intelijen Belanda Atas Klaim Wali Songo dari China

Yang menyebarluaskan Wali Songo Berasal dari China adalah intelijen Belanda?

Santri Jawa
Foto: Troppen Musseum
Santri Jawa

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Beberapa waktu lalu di Bravos Radio yang siarannya bisa diikuti di internet, ada wawancara menarik antara penyiar Karna Adibrata dan pemerhati sejarah Batara R Hutagalung tentang adanya klaim bila Wali Songo berasal dari China.

Dalam kesempatan itu, Batara menjelaskan bahwa klaim itu sebenarnya hanya ‘akal-akalan’ dari pihak Dinas Intelijen pemerintah kolonial Belanda. Data yang mereka sebarluaskan tujuannya untuk memecah kesolidan umat Islam.

Atas persetujuan Batara Richard Hutagulung, kami muat wawacara mengenai temuan datanya yang dikemukakan di Bravoos Radio itu. Dan, terkait Batara Hutagulung, publik selama ini mafhum bila dia adalah pemerhati sejarah yang suka membuka misteri arsip sejarah masa silam, seperti VOC, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, serangan Umum 1 Maret 1949, pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan dan Rawagede, dan lainnya.

Berikut wawancara yang ditranskrip oleh Devitra Savitri, mahasiswi UPI Bandung yang tengah magang di Republika.co.id:

Q: Mengapa kita harus mengangkat hal ini, alasannya mengapa kita harus menggali kembali kebenaran sejarah yang terungkap pada masa kini?

A: Saya dikenal sejak lebih dari 25 tahun suka membongkar-bongkar sejarah, pada intinya adalah meluruskan penulisan sejarah atau membongkar pemalsuan sejarah. Jadi, ada dua hal yang berbeda. Pertama, pemalsuan penulisan, peristiwanya ada, tetapi dipelesetkan, dipelintir. Yang kedua, tidak ada peristiwanya, tetapi dikarang peristiwanya, jadi itu pemalsuan sejarah.

Khusus mengenai tema kita kali ini, selama puluhan tahun, mungkin sejak tahun 70-an yang beredar di masyarakat itu bahwa beberapa Wali Songo, sembilan wali itu, orang China. Pada waktu itu kurang diketahui, kurang jelas sumbernya dari mana, saya sendiri hanya mendengar. Ketika tahun 1994 di mana saya mulai melakukan penelitian, semua hal yang bisa saya baca termasuk masalah ini. 

Kalau orang bertanya, dari mana sumbernya sekarang saya bisa memastikan. Pertama, dari buku yang berjudul Tuanku Rao,  ini sumber awalnya, yang kemudian dikutip. Jadi, buku Tuanku Rao ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan, dikenal sebagai MOP, kemudian dari buku ini dikutip oleh Prof Benedictus Slamet Muljana dengan bukul judunya adalah Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara. Di buku ini Slamet Muljana, mengutip yang ada di buku MOP, yang merupakan lampiran ke 31, dari halaman 650-672. Jadi, dikutip penuh oleh Prof Slamet Muljana.

Dalam buku MOP dijelaskan sumbernya adalah catatan tangan dari almarhum ayahnya, yaitu Sutan Martua Raja. Kemudian, mendapat catatan juga dari gurunya, dan s=Sutan Martua Raja ini mendapat catatan tangan dari konon seorang residen Belanda bernama Poortman tahun 1905 menjadi residen di Sipirok. Kemudian, dia dikatakan sebagai kepala dinas intelijen politik pada zaman penjajahan.

Kalau diteliti lebih lanjut disampaikan dalam bukup MOP, residen poortman ini pada 1928 mendapat tugas untuk melakukan penelitian apakah benar Raden Fatah merupakan keturunan dari China dituliskan dia pada 1928 menggeledah kuil/klenteng Sam Poo Kong di Semarang dan menyita tiga cikar/gerobak dokumen dalam bahasa China.

Disebutkan juga, penggeledahan dalam rangka ada pemberontakan PKI pada 1928 di Semarang. Jadi, perlu diluruskan pemberontakan PKI itu tahun 1926 di Banten dan Sumatra Barat, jadi itu sudah kesalahan cukup besar, karena di Semarang tidak ada pemberontakan PKI.

Berdasarkan dokumen-dokumen bahasa China yang dia sita, dia lakukan penelitian. Hasilnya dia buat catatan tangan dengan lima eksemplar. Satu untuk perdana menteri Belanda saat itu, satu untuk gubernur jenderal Hindia Belanda, tiga lagi untuk beberapa dinas. Ini dengan catatan itu sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor. Aneh kan? Tapi (hasil penelitian itu) dia sebarkan ke mana-mana.

           Keterangan foto: Raja Paku Buwono X di Masjid Luar Batang pada 1910.

Q: Jadi, sumber yang didapatkan awalnya dari buku Tuanku Rao tadi, buku tersebut terbit, atau cetakan pertama tahun?

A: Tahun 1964.

Q: Lalu dicetak sampai sekarang ini?

A: Tidak, jadi baru dicetak ulang, cetakan kedua tahun 2007.

Q: Lalu buku kedua, yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara, diterbitkan kapan?

A: Pertama kali diterbitkan tahun 1968, tetapi waktu itu masih zaman Orde Baru dan dilarang karena pada masa itu masih konflik tentang Indonesia dengan China.

Q: Jadi, sebetulnya buku yang kedua ini pernah dilarang terbit, buku ini mengambil sebagian datanya dari buku Tuanku Rao tadi, dari buku ini perbedaan dengan buku yang pertama apa?

A:Perbedaannya hanya beberapa keterangan catatan, karena mungkin bahasa yang digunakan pada 1964 berbeda, jadi ada penjelasannya. Tapi, selain itu 99 persen itu sama seperti cetakan pertama. Dan, yang saya dapat ini merupakan catatan ke-7, yang diterbitkan oleh LKIS pada Februari 2009 dengan pengantar dari Dr Asvi Warman Adam, yang merupakan tokoh sejarawan.

Q: Yang Bapak telaah dari dua buku ini sangat berkaitan dengan Wali Songo tidak ada yang dari China. Dan, jelas dari buku pertama yang ditulis oleh MOP di situ jelas tertulis, bisa Bapak jelaskan siapa-siapa saja yang masih diasumsikan mereka itu dari China atau dari negara mana pun, bisa dijelaskan Pak?

A: Ya, sangat penting diketahui perbedaannya, kalau dibuku yang diterbikan oleh MOP, dia menulis bahwa sumbernya yaitu dari catatan ayahnya yang dikutip dari catatan Residen Poortman. Residen Poortman ini yang diketahui catatannya memberikan kepada Sutan Martua Raja ayahnya MOP, jadi disingkat jadi SMR. Jadi, MOP maupun SMR tidak pernah melihat sumber aslinya yang berbahasa China hanya catatan tangan, demikian juga MOP yang sempat belajar di Belanda melihat catatan tangan tersebut.

Dalam historiografi modern yang diterapkan oleh bapak historiografi modern, yaitu  Leopold von Ranke ada sebuah rumusan "No Document, No History". Jadi, dokumen-dokumen itu artinya sumber-sumber yang valid, yang dari zaman tersebut yang dapat dipertanggungjawabkan atau dipercaya apakah itu artefak, saksi mata, pelaku, dan sebagainya. Jadi, sudah dikritisi juga oleh Dr Asvi Warman Adam bahwa Prof Slamet Muljana sendiri juga tidak melihat sumber-sumber aslinya. Jadi, itu kelemahannya.

Nah, kemudian kalau dilihat di sini, hasil dari penelitian Residen Portman atau mungkin kepala dari singkatannya PID, yaitu Politieke Inlichtingen Dienst, atau Dinas Intelijen Politik. Dia sendiri memang berhati-hati menulis bahwa semua yang dia baca lalu dia tulis sebagai catatan, masih dengan  catatan supposition, atau dalam bahasa Belanda-nya veronderstelling, dalam bahasa Indonesia dugaan.

Misalnya, di halaman 654 kalau dilihat di situ, saya tulis dugaan. Jadi, di situ ditulis dugaan, supposition Putri Campa adalah istri haji Ma Hong Fu, yang di atasnya lagi dugaan haji Gang Eng Cu adalah Aryo Tejo dan adalah ayah dari Nyi Ageng Manila yang lahir di Manila. Halaman selanjutnya halan 655 mulai mengenai satu Wali Songo, yang di bawah itu, ada ditulis supposition/dugaan Bong Swie Ho adalah Raden Rahmat gelar Sunan Ampel, begitu juga dengan yang lain-lain semua itu adalah dugaan. Jadi, itu semua dugaan-dugaan. Jadi, ditulis sendri oleh Residen Poortman dugaan-dugaan dan MOP serta ayahnya dikutip sama dan ditulis sebagai dugaan.

Namun, Pof Slamet Muljana dalam beberapa hal dia tidak menulis dugaan, sebagaimana juga disampaikan oleh Dr Asvi Warman Adam bahwa Slamet menyimpulkan, padahal ini kan lemah sekali. Penulis aslinya sendiri menyatakan menduga, tapi dia menyimpulkan dan bahkan di halaman 105 buku ini (Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara) dia tulis "telah dibuktikan bahwa Jaka Dilah atau Arya Damar adalah Swan Liong.

Bagaimana bisa dia membuktikan, Prof Slamet Muljana ini sudah almarhum, tetapi apa yang ditinggalkan ini menjadi bahan polemik. Jadi, ini hal-hal yang menurut saya menyesatkan. Bahwa yang seharusnya ditulis sebagai dugaan, dia sudah simpulkan dan memastikan. Kemudian, fatalnya yang membaca buku ini tidak lagi dengan cermat bahwa juga disampaikan bahwa di buku Tuanku Rao juga masih ditulis dugaan. Slamet Muljana juga menulis, tapi dalam beberapa hal Slamet Muljana sudah menulis kepastiannya dan kesimpulannya. Jadi, kalau dilihat sekarang ini, yang beredar bukan lagi dugaan-dugaan.

Saat ini, kata dugaan itu sudah hilang, jadi seolah Bong Swie Ho adalah Sunan Ampel, padahal aslinya ditulis "diduga" diduga Sunan Ampel. Jadi, ada beberapa, kalau di sini disebutkan ada lima. Jadi, Sunan Bonang itu adalah Bong Swie Ho, kemudian Sunan Kalijaga adalah Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo, dan Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq adalah Ja Tik Su. Ini kan kesimpulan atau tulisan dari Residen Poortman.

Nah, sekarang kalau kita meneliti motifnya, kita melihat yang pernah juga kita bahas di sini untuk menghancurkan atau menguasai satu bangsa itu dengan tiga tahapan mengenai sejarahnya. Pertama, sejarahnya dikaburkan atau dikacaukan, kedua diputus mata rantai antara pengetahuan mengenai leluhur dengan keadaan yang sekarang, dan langkah ketiga adalah ditulis, dikarang, atau dipalsukan sejarah baru. Nah, ini yang banyak sekarang ini beredar, selain dipelesetkan, salah, di buku-buku sekolah juga banyak salah, bahkan di buku-buku pedoman yang dikeluarkan oleh Kemendiknas tahun 2017 juga banyak yang salah, dan banyak dipalsukan yang beredar di masyarakat dipalsukan.

Jadi, saya tidak mengatakan bahwa ini dipalsukan, karena dia mengutip dari suatu sumber, hanya dia menyimpulkan, kesimpulannya dia. Karena, memang menurut Prof Taufik Abdullah, penelitian dan penulisan sejarah itu adalah interpretasi, tafsir dari sudut pandang peneliti atau penulis tentu berbeda-beda. Kita bisa membaca buku yang sama, tapi ada banyak kesimpulan, banyak terjadi kan. Jadi, menurut pendapat saya, sumbernya ini sangat lemah. Karena, tidak ada yang pernah melihat sumber aslinya, dokumen bahasa China.

Nah, tadi saya katakan, saya hubungkan metode Belanda yang ratusan tahun memanipulasi penulisan sejarah. Termasuk banyak sekali yang terkecoh pada awal 1950-an sejarawan atau buku sejarah yang terbit di Indonesia, ketika kita belum memiliki pakar-pakar sejarah pada waktu itu hanya diterjemahkan buku-buku sejarah dari bahasa Inggris ataupun bahasa belanda dan sekarang sudah terbukti banyak sekali yang salah dari sudut pandang Belanda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa memang ini by design, karena kalau kita lihat sejarah perlawanan dari awal abad ke 20, perlawanan terhadap penjajah, itu dua kekuatan, yaitu kekuatan nasionalis dan islam.

Dan untuk itu, kita sudah tahu dari metode yang lama, kekuatan nasionalis harus dipecah dan kekuatan Islam juga harus dipecah, dibingungkan, dikacaukan. Jadi, kalau saya melihat ini bahwa Residen Poortman dia memang mengarang, mengarang cerita dengan melenyapkan bukti-bukti karena bukti-bukti itu dia sita tiga cikar dan sekarang tidak diketahui di mana sumber keberadaannya. Yang beredar hanya catatan tangan dia, dia sebutkan ada lima catatan tangan.

photo
Keterangan Foto: Santri Jawa di sebuah perkampungan pada 1920-an.

Q: Itu kejadian sekitar tahun 1400-an?

A: Sekitar itu, jadi mulai dari akhir abad ke-14 sampai awal abad ke-17. Jadi, selain dari sumber-sumber kelenteng China, juga ada serat tanda, Babat Tanah Jawa, kitab para raton, dan sumber-sumber lainnya. Jadi, selama ini hingga sampai tahun 70-an itu, yang ada di buku-buku pelajaran sekolah adalah mengutip dari kitab-kitab tersebut yang penelitiannya kebanyakan orang Belanda. Jadi, kita sendiri juga tidak tahu kan apakah betul tertulis seperti itu karena kita lihat beberapa versi dari berbagai penulis orang Belanda dari buku yang sama, dan juga berbeda interpretasinya.

Dari kitab-kitab itu serat kanda, Babat Tanah Jawi orang-orang Belanda sendiri berdebat. Dan, apa yang dilihat sekarang ini, MOP mendapat catatan tangan yang dikutip dari bukunya Poortman. Apakah satu-satunya yang mendapat catatan tangan? Kan kemungkinan tidak. Karena, begitu banyak yang membaca kan? Tadi disebutkan, itu hanya bisa dibaca di kantor, kok bisa beredar di luar?

Nah, jadi kita sekarang kita lihat secara psikologis aja, misalnya saya sampaikan ke Kang Karna, 'Kang ini ada info, tapi rahasia jangan disebarluaskan kan penasaran'. Bagaimanapun, cepat atau lambat, dalam hal ini SMR meninggal, dan mewariskan catatan tangan, dan itu yang diterbitkan oleh MOP. Saya sendiri juga berterima kasih kepada MOP yang sudah menerbitkan, juga kepada putranya Dorpi Parlindungan yang bersedia menerbitkan. Sekarang kita bisa membahas, ini loh sumbernya. Kalau tidak diterbitkan, yang beredar di masyarakat kan kita tidak tahu dari mana sumbernya. Sekarang dengan begini ada sumbernya yang kita bahas, kita teliti kebenarannya.

Nah, jadi kalau dikatakan bahwa Residen Poortman waktu itu membuat catatan tangan yang hanya boleh dibaca di kantor, tetapi ternyata beredar di masyarakat. Nah, jadi sekarang begini, siapa yang berkepentingan? Tentu, pejabat Belanda dan China. Karena, dengan demikian kan disebarkan di kalangan China, ini loh sebenarnya lima Wali Songo tuh orang China, tentu kan tersebar ke mana-mana. Kan sumbernya itu dari kepala dinas intelijen. Nah, begitu juga sekarang di kalangan Islam dengan metode yang sama dikatakan "bahwa kalian harus hati-hati yang membawa Islam ke tanah Jawa adalah China" kan jadi keragu-raguan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement