Kamis 02 Jan 2020 22:43 WIB

PBNU: Segelintir Orang Kuasai Kekayaan dan Tanah Indonesia

PBNU meminta pemerintah mengentaskan kemiskinan secara merata.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (tengah) bersama Ketua Robikin Emhas (kanan) dan Sekjen Helmy Faishal Zaini (kiri) usai menyampaikan Refleksi Akhir Tahun 2019 dan Tausiyah Kebangsaan 2020 di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (2/1).
Foto: Republika/Prayogi
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (tengah) bersama Ketua Robikin Emhas (kanan) dan Sekjen Helmy Faishal Zaini (kiri) usai menyampaikan Refleksi Akhir Tahun 2019 dan Tausiyah Kebangsaan 2020 di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (2/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj, mengingatkan tugas pemerintah adalah mengakselerasi pemerataan distribusi kesejahteraan dan sumber-sumber daya ekonomi yang berkeadilan. 

NU juga meminta pemerintah fokus menjalankan program pemerataan dan memotong mata rantai ketimpangan. "NU melihat tujuh dekade pembangunan nasional belum mampu melenyapkan penyakit ketimpangan. Penyakit ini telah diwariskan sejak era kolonial yang menciptakan stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan atas kue ekonomi," ujar dia dalam konferensi pers, Refleksi Akhir 2019 dan Awal 2020, di kantor PBNU, Jakarta, Kamis (2/1).

Baca Juga

Kiai Said menyebut bahwa penyakit itu diwariskan turun temurun setelah Indonesia merdeka. Ini terlihat dari langgengnya oligarki yaitu penguasaan atas aset ekonomi oleh segelintir orang. Presiden dan pemerintahan silih berganti, tetapi oligarki tidak pernah pergi.

Menurut Kiai Said, oligarki punya kemampuan adaptif untuk berkolaborasi dengan siapa pun yang berkuasa. Bercokolnya oligarki membuat kue ekonomi tumbuh, tetapi tidak merata. Koefisien Gini turun sedikit, begitu pun rasio gini penguasaan tanah. 

Secara nominal, kata dia, kekayaan 50 ribu orang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 60 persen aset penduduk Indonesia atau 150 juta orang.

"Segelintir orang mendominasi kepemilikan atas jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan dan obligasi pemerintah, serta penguasaan tanah," ucap dia.

NU, lanjut Kiai Said, juga memandang bahwa sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, yaitu pertanian, terseok-seok karena gagalnya reformasi pertanahan dan industrialisasi pertanian. 

Sawah-sawah menjadi tadah hujan karena miskinnya infrastruktur irigasi. Akibatnya produktivitas turun. Sawah-sawah akhirnya disulap jadi rumah-rumah. Pada gilirannya kebutuhan pangan diperoleh dari impor yang menguras devisa.

"Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan kepada Pemerintah untuk memotong mata rantai oligarki ini. Oligarki akan menimbulkan penyakit sosial berupa persepsi tentang ketidakadilan dan prasangka etnis yang dapat mengoyak integrasi nasional," paparnya.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement