Radikal, Radikalisme, dan Ekstremisme
Masalah radikalisme bukanlah persoalan sederhana dalam aspek apapun di brbagai negara, sehingga memerlukan pemahaman yang luas dan mendalam agar tidak salah dalam cara pandang dan cara menghadapinya. Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan.
Menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme, sebagaimana sama keliru atau biasa jika dilekatkan pada satu aspek dan kelompok tertentu seperti radikalisme agama atau lebih khusus radikalisme Islam.
Padahal sejarah menunjukkan, bahwa radikalisme terjadi di banyak aspek dan semua kelompok sosial. Dalam hal ini Taspinar (2015) benar dengan menyatakan: “What are the root causes of radicalism? Admittedly, this is a very broad question. Yet, it requires serious thinking if we really want to under-stand why so many young people from diverse backgrounds become extremists and join violent movements. Today organizations associated with politi- cal Islam, such as Al-Qaeda, the Islamic State in Iraq and Syria (ISIS), Hamas, and Hezbollah, have become a focus for such discussions. Yet, world history is full of different flavors of extremism and radicalism not necessarily related to religion. With organizations from the not-so-distant past like the Red Brigades in Italy, the Baader-Meinhof group in Germany, and the Irish Republican Army in Britain, ideological and ethnic terrorism with secular roots is not an alien concept to the West. Investiga- tions into what causes radicalization and who joins terrorist groups should therefore go well beyond political Islam and improve our understanding of conditions that lead to extremist violence.”
Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata “radikal” (Inggris: radical) berasal dari akar kata “radix” (Latin) yang berarti “origin“ (aseli) atau “root” (akar). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata radikal (ra.di.kal) mengandung arti (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (2) maju dalam berpikir atau bertindak. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), istilah radikal berarti ‘akar’, ‘sumber’, atau ‘asal- mula’. Dalam arti yang lebih luas, istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala atau sesuatu yang “tidak biasanya” (unconventional).
Boleh jadi karena ingin kembali ke aseli atau akar, sebagian kaum radikalis menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta, dari sinilah benih radikalisme yang ekslusif, monolitik, dan intoleran. Namun sikap kepala batu seperti ini milik semua kaum radikal, termasuk radikal nasionalisme yang dikenal “ultra- nasionalis”, sebagaimana kaum “New-Left” atau “Kiri Baru”.
Radikal (radical) ialah denote a concerted attempt to change thestatusquo, yakniusahauntukmengubahstatus-quo(David, 1991). Status-quo yang harus diubah oleh kaum radikal ialah yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip yang aseli sehingga penting untuk dikembali ke akarnya yang aseli menurut mereka, yang boleh jadi bagi pihak lain apa yang disebut “akar” dan “aseli” itu berbeda. Menurut Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu.
Beberapa mereka yang radikal itu revolusioner, meski tidak indentik semua revolusioner. Adapun radikalisme sebagai paham atau ideologi ialah taking things by the roots (Giddens, 1994). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa” (Kartodirdjo, 1973).
Radikalisme sering disamakan dengan ekstremisme, tetapi sementara keduanya dapat - sebagai tipe ideal - dijelaskan secara berjarak dari posisi moderat, arus utama atau pun status quo, upaya dalam melakukan diferensiasi lebih lanjut dianggap lebih masuk akal. Dalam hal preseden historis (mis. Fasisme, Komunisme), ekstrimis dapat dicirikan sebagai aktor politik yang cenderung mengabaikan aturan hukum dan menolak pluralisme dalam masyarakat.
Ekstremis berusaha menciptakan masyarakat yang homogen berdasarkan prinsip dogmatis yang kaku; mereka berusaha membuat masyarakat konformis dengan menekan semua oposisi dan menaklukkan minoritas. Ini yang membedakan mereka dari sekadar radikal yang menerima keragaman dan percaya pada kekuatan nalar ketimbang dogma (Schmid, 2013).
Selanjutnya, Schmid (2013) menyatakan, bahwa “In the context of democratic societies, (violent) extremist groups, movements and parties tend to have a political programme that contains many of the following elements: (1) Anti- constitutional, anti-democratic, anti-pluralist, authoritarian; (2) Fanatical, intolerant, non-compromising, single-minded black-or-white thinkers; (3) Rejecting the rule of law while adhering to an ends-justify-means philosophy; (4) Aiming to realise their goals by any means, including, when the opportunity offers itself, the use of massive political violence against opponents.
Menurut Schmid, ekstremis politik di kiri dan kanan dan mereka yang juga merupakan fundamentalis agama dan orang-orang yang cenderung berasal dari coorak politik etno-nasionalis, dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan, mempertahankan atau mempertahankan kekuasaan negara, menunjukkan kecenderungan untuk lebih memilih di jalan mereka dalam mewujudkan program politik mereka.
Sedangkan kaum radikal menurut Schmid mungkin akan bersikap kasar atau tidak, mungkin bersifat demokrat atau bukan, sementara kaum ekstrimis tidak pernah bersikap demokrat. Kondisi pikiran mereka tidak mentolerir adanya perbedaan. Mereka juga secara positif mendukung penggunaan kekuatan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik, dalam pernyataan publik mereka meskipun mereka tidak begitu jelas dan ambigu mengenai hal ini, terutama ketika mereka masih dalam posisi lemah. Para ekstremis umumnya cenderung memiliki ‘pikiran tertutup’ yang tidak fleksibel, mengikuti interpretasi mono-kausal yang disederhanakan dari dunia di mana anda berada di pihak mereka atau melawan mereka, ataupun menjadi bagian dari masalah atau bagian dari solusi.
Radikal, di sisi lain, secara historis cenderung lebih terbuka terhadap rasionalitas dan kompromi pragmatis, tanpa mengabaikan pencarian mereka sampai ke akar masalah sebagaimana makna asli ‘radikal’ yang berasal dari radix, bahasa Latin untuk root. Radikalisme dapat dikembalikan, militan radikal dapat dibawa kembali ke arus utama, namun kalangan militan ekstrim lebih sulit.
Dalam pandangan Schmid, masuk akal untuk membedakan antara radikal (berpikiran terbuka) dan ekstremis (tertutup). Jika perbedaan ini diterima, masalah utamanya bukanlah radikalisasi yang mengarah kepada radikalisme (bahkan ketika itu mengarah pada beberapa bentuk kekerasan politik) tetapi beralih ke ekstremisme (yang secara positif menerima kekerasan dalam politik dan dapat mengarah pada terorisme dan tindakan serius lainnya seperti genosida).
Beberapa lembaga pemerintah di Barat membuat perbedaan antara ‘ekstrimis yang melakukan kekerasan’ dan ‘ekstrimis non-kekerasan’ dan kemudian memfokuskan sebagian besar upaya anti-terorisme (Counter Terrorism) mereka untuk melawan ekstremisme kekerasan saja. Asal usul konsep ‘Melawan Kekerasan Ekstremisme’ (Counter Violent Ekstremism) dapat dilihat kembali ke tahun 2005, ketika sejumlah pembuat kebijakan AS dalam pemerintahan Bush kedua berusaha untuk menggantikan ‘Perang Global Melawan Teror’ (Global War on Terrorism) yang cenderung gegabah dengan beberapa konsep seperti ‘Perjuangan Melawan Ekstremisme Kekerasan’.
Beberapa pejabat CT melihat ekstremis non-kekerasan sebagai mitra yang mungkin dalam melawan ekstremis brutal. Apakah ekstremis tanpa kekerasan tidak berbahaya di negara demokrasi? Tidak, ketika mereka mematuhi empat indikator yang diidentifikasi di atas.
Dalam konteks ini, Schmid memandang baik radikalisme maupun ekstremisme, keduanya memiliki konsep relasional; yaitu, mereka perlu dinilai menggunakan sebuah tolok ukur. Poin referensi standar yang digunakan untuk menilai radikalisme dan ekstremisme oleh masyarakat Barat adalah ‘nilai-nilai inti’ Barat seperti demokrasi, aturan mayoritas dengan perlindungan bagi minoritas, aturan hukum, pluralisme, pemisahan negara dan agama, persamaan di depan hukum, kesetaraan gender, kebebasan berpikir dan berekspresi sebagai yang paling penting. Banyak pemerintah menggunakan istilah ‘ekstremis yang brutal’ sebagai sinonim untuk teroris dan pemberontak. Dalam kaitan ini tidak jarang label radikal itu menyatu dengan kecenderungan Islamofobia sebagaimana ditulis Derya (2018), bahwa Islamofobia dapat ditemukan di dalam Radikalisme sehingga menyebabkan penaksiran berlebihan terhadap terorisme Islam yang kemudian menempatkan Muslim secara umum di bawah kategori yang dicurigai.
Tolok ukur Barat memang dapat menjadi problematik tentang radikalisme, sebagaimana hal serupa mengenai standar sikap moderat sebagai lawan dari sikap radikal.
Dalam hal ini Kamali (2015) memberikan catatan kritis sebagai berikut: “Moderate” and its plural “moderates” are often contextualized, how- ever, and given different readings in different parts of the world. In the Western media and political discourse, “moderation and moderates” often denote a calling and demand addressed particularly to Muslims. One hardly sees in the mainstream media a similar demand addressed, for instance, to Israel or the United States, whose militarist behavior and policies often exceed the advice of moderation. Israel will punish dispro- portionately the slightest provocation by Palestinian civilians, and the US militarist excesses are driven by hegemonist purposes, manifested by the fact that it has close to eight hundred military bases around the globe. The call to moderation under such circumstances would be meaningless if addressed only to the victims of such behavior. One needs to understand, therefore, that wasatị yyah and justice are inseparable for the most part, and that moderation makes little sense in severely distorted situations.“.
Dalam temuan Schmid (2013), pada beberapa tahun terakhir, istilah ‘radikalisasi’, layaknya istilah terorisme, menjadi sangat terpolitisasi, yaitu telah digunakan dalam permainan politik labeling dan penyalahan (blaming). Asosiasi Akademisi telah menggagas sejumlah definisi yang sering kali terlihat kurang tepat. Untuk menggambarkan hal ini, Schmid mendaftar sejumlah contoh definisi dan deskripsi akademik tentang Radikalisme: