Jumat 06 Dec 2019 09:30 WIB

BKMM DMI Pertanyakan Sasaran PMA Majelis Taklim

Kenapa harus Islam yang dikejar? Apakah agama lain tak ada semacam majelis taklim?

Majelis Taklim. Jamaah mengikuti majelis taklim dan dzikir bersama. (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Majelis Taklim. Jamaah mengikuti majelis taklim dan dzikir bersama. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Badan Koordinasi Majelis Taklim Masjid-Dewan Masjid Indonesia (PP BKMM DMI) mempertanyakan sasaran Kementerian Agama (Kemenag) mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Ia menyesalkan bahwa PMA itu hanya dibuat untuk umat Islam.

"Kenapa harus Islam yang dikejar? Apakah agama-agama lain tidak ada semacam majelis taklimnya? Ini yang membuat tanda tanya saya. Ini pasti larinya mau ke radikal, masalah radikal dan masalah toleransi,\" kata Ketua Umum PP BKMM DMI, Nurdiati Akma kepada Republika, Kamis (5/12).

Baca Juga

Nurdiati mengungkapkan, aturan itu kemudian membuat seolah-olah umat Islam adalah sarang intoleransi dan radikalisme. Padahal, ia menilai sebaliknya bahwa umat Islam di Indonesia sudah sangat toleran. "Hebat Indonesia, sudah sangat toleransi kita, saya pernah ikut seminar ada orang Thailand, Singapura, Malaysia mengatakan umat Islam Indonesia sangat toleransi," ujarnya.

Demikian juga soal radikalisme. Ia mengingatkan, justru sikap radikal umat Islam terdahulu ikut membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. "Saya sedih. Kalau mau dibuat PMA, jangan hanya untuk majelis taklim Islam saja, janganlah kita umat Islam menyudutkan umat Islam sendiri. Saya sedih," ujarnya.

 

Sedangkan cendekiawan Muslim Didin Hafidhuddin turut memberikan pandangan seputar polemik terbitnya PMA 29/2019 tentang Majelis Taklim. Dia mengatakan majelis taklim itu merupakan aset umat dan aset bangsa. "Tumbuh dan berkembang atas kesadaran umat ingin menjaga semangat keberagaman masyarakat. Seharusnya tak perlu direpotkan dengan keharusan mendaftarkan diri ke pemerintah," kata dia kepada Republika, Kamis (5/12).

Menurut Hafidhuddin, bila ingin tertib dan teratur, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama yang melakukan pendataan. Terkait modul untuk majelis taklim, Didin berpendapat pada prinsipnya pemberian modul itu baik, tapi harus juga diperhatikan kemampuan dari para ustaz yang menurutnya sangat beragam. "Yang lebih bijak berikan pokok-pokoknya saja. Misalnya tentang kesatuan dan persatuan umat. Penguatan akhlak mulia dan lain-lain," katanya.

Sebaliknya, Ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) Tangerang Selatan, Ustazah Tati Astariati mengatakan setuju dengan langkah pemerintah menerbitkan PMA 29/2019. Hal ini karena ia mengatakan pernah kecolongan di suatu forum pengajian majelis taklim.

Saat itu, menurut dia, pemberi materi menyampaikan ajaran Islam yang mengafirkan pemerintah. "Makanya gurunya didata, gurunya siapa supaya jelas. Supaya masyarakat Indonesia ini benar-benar terwujud kerukunan, kedamaian, sejahtera, dan bahagia," kata Ustazah Titi. n fuji e permana/umar mukhtar/muhyiddin, ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement