Selasa 10 Dec 2019 14:33 WIB

RUU Kewarganegaraan India Dinilai Anti-Muslim

RUU Kewarganegaraan menjadikan agama sebagai kriteria kebangsaan untuk pertama kali.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
RUU Kewarganegaraan India Dinilai Anti-Muslim. Foto ilustrasi aktivis organisasi All Assam Student
Foto: AP Photo/Anupam Nath
RUU Kewarganegaraan India Dinilai Anti-Muslim. Foto ilustrasi aktivis organisasi All Assam Student

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Partai Bharatiya Janata (BJP), yang sedang berkuasa di India, memperkenalkan Rancangan Undang-undang (RUU) yang kontroversial. RUU itu berupaya memberikan status kewarganegaraan bagi pengungsi atau imigran ilegal non-Muslim dari negara-negara tetangga. RUU itu memperkenalkan agama sebagai kriteria kebangsaan untuk pertama kalinya.

RUU yang dikenalkan oleh pemerintah India di bawah Perdana Menteri Narendra Modi itu akan membuat pemeluk dari enam kelompok agama yang datang ke India dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan sebelum 31 Desember 2014 mendapatkan status kewargananegaraan India. Agama tersebut yakni Hindu, Sikh, Kristen, Jain, Parsis, dan Buddha.

Baca Juga

Pemerintah berdalih hal itu bertujuan memberikan perlindungan kepada minoritas yang melarikan diri dari penganiayaan agama di negara-negara tersebut. RUU ini kemudian menuai berbagai kritik karena dinilai anti-Muslim. Oposisi di India mengecam RUU yang dinilai dapat memecah-belah dan menyebutnya sebagai taktik partai nasionalis Hindu untuk melemahkan fondasi sekuler demokrasi India.

Para kritikus mempertanyakan mengapa undang-undang yang diusulkan mengecualikan minoritas Muslim, seperti halnya Muslim Rohingya di Myanmar. Padahal itu ditujukan melindungi mereka yang menghadapi penganiayaan atas nama agama.

Banyak di kubu oposisi yang menilai RUU itu regresif. Seorang anggota parlemen yang merupakan oposisi dari Partai Kongres, Adhir Ranjan Chowdhury, mengatakan undang-undang itu ditargetkan terhadap masyarakat minoritas di India. Muslim merupakan minoritas terbesar di India. Dengan adanya RUU ini, muncul kekhawatiran akan polarisasi agama semakin dalam selama pemerintahan Modi.

Selain itu, pemimpin Partai Kongres lainnya, Shashi Tharoor, mengatakan RUU tersebut melanggar hak mendasar atas kesetaraan. Sebab, konstitusi India melarang adanya diskriminasi agama dan menjamin kesetaraan semua orang di hadapan hukum.

Di samping kritik di parlemen, RUU itu juga telah memicu protes di negara bagian Assam di timur laut India dalam beberapa hari terakhir. Banyak warga khawatir hal itu akan melindungi puluhan ribu umat Hindu Bengali, yang termasuk di antara dua juta penduduk yang baru-baru ini diidentifikasi sebagai penduduk ilegal di negara bagian itu.

Sejak lama, penduduk Assam telah menuntut pengusiran semua imigran gelap terlepas dari agama mereka. Negara bagian yang berbatasan dengan Bangladesh ini telah menghadapi kedatangan gelombang besar pengungsi.

Negara bagian ini kemudian berupaya mengeluarkan imigran ilegal dengan menerbitkan daftar kewarganegaraan yang baru-baru ini diperbarui. Pemerintah mengatakan, mereka berencana menggelar hal serupa di seluruh negeri untuk mengidentifikasi semua imigran ilegal pada 2024 mendatang.

Kekhawatiran akan RUU kewarganegaraan tersebut juga datang dari banyak pengamat politik. Seorang pengamat politik, Nilanjan Mukhopadhyay, mengatakan ia khawatir RUU itu hanya akan menargetkan Muslim alih-alih melindungi kelompok agama lain. Ia menyayangkan kewarganegaraan di negara itu terhubung dengan identitas agama.

"Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan semua ini. Ini adalah langkah penting lainnya dalam menjaga agenda utama BJP tetap hidup," katanya, dilansir di VOA News, Selasa (10/12).

Namun demikian, tuduhan para kritikus itu dibantah oleh Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah. Ia membantah tuduhan RUU Amandemen Kewarganegaraan memiliki bias anti-Muslim.

"RUU ini bahkan tidak menunjuk nol nol satu persen terhadap minoritas di negara ini," katanya kepada anggota parlemen di majelis rendah parlemen.

BJP membela undang-undang yang mereka usulkan tersebut dengan mengatakan UU itu terbatas pada tiga negara Islam karena di sana terdapat minoritas seperti Hindu dan Sikh yang kerap menghadapi pelecehan. Partai, yang kembali berkuasa dengan suara mayoritas di majelis rendah parlemen enam bulan lalu, ini yakin akan meloloskan RUU tersebut.

RUU ini sempat ditunda selama masa jabatan sebelumnya karena tidak memiliki suara mayoritas di majelis tinggi parlemen. Mereka berharap RUU itu bisa disahkan dengan adanya bantuan dari partai-partai terdekat. Di India, setiap RUU perlu disahkan oleh kedua majelis parlemen untuk menjadi hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement