Jumat 06 Dec 2019 05:03 WIB
Majelis taklim

Wajib, Harus, La Budda: Geli PMA Majelis Taklim

Ketika kata 'harus' dan 'wajib' diangggap tak sinonim

Majelis Taklim Muslimat NU 1971.
Foto: Google.com
Majelis Taklim Muslimat NU 1971.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Semalam malam (5/12) ketika melihat tayangan bincang malam di TV One, saya hanya bisa tersenyum-senyum melihat perdebatan mengenai Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang majelis taklim. Di satu sisi ada pihak Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid  dan pengacara yang kini disebut-sebut sebagai komisaris sebuah bank, Kapitra Amprea. Sementara dari kubu yang lain  ada sosok anggota DPR Nasir Jamil dan seorang rekan lain sebagai pendebatnya. Entah kagum -- antara tersenyum kecut atau manis --  saya mendadak  merasa geli sendiri melihatnya tayangan debat itu.

Mengapa demikian? Ini terkait persoalan tafsir atas makna kata 'harus' yang ada aturant pertama PMA tersebut. Wamenag terlihat ngoyot mengatakan bila makna 'harus' itu maksudnya bukan 'wajib'. Pihak yang kontra tersenyum dan geleng kepala saja dengan menganggap bahwa kata harus itu sinonim dari kata 'wajib'.

Namun, sebelum membahas lebih jauh mari kita buka arti kata harus dan wajib itu. Apakah ada perbedan atau tidak? Mari kita cek kata itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di sana ditemukan keterangan begini:

 

-harus1/ha·rus/ adv 1 patut; 2 wajib; mesti (tidak boleh tidak): kalau dia tidak datang, kau -- menggantikannya;

-[wajib] Arti kata wajib di KBBI adalah: harus dilakukan; tidak boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Contoh: seorang muslim wajib salat lima..

Maka tafsir kata 'harus' dan 'wajib' itu menjadi lucu bila merunut logika Wamen, yang terlihat sangat 'haqul yakin' berkata bahwa itu 'harus' itu bukan 'wajib'. Sebab, ternyata harus itu maknanya ketika di rumut pada kamus KBBI sebangun dengan wajib. Ini mirip dengan mengatakan kata dalam bahasa Inggris 'have to' yang sama dengan 'must'. Artinya sebangun alias 'sami mawon'  atau kata yang sinonim.

Seperti diketahui belakangan memang ada Peratuan Menteri Agama(PMA)  Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim yang ini terus menuai kontroversi. Berbagai ormas Islam pun menyoroti aturan ini. Pada draft PMA tersebut, yakni dalam Pasal 6 Ayat 1 termaktub aturan bahwa majelis taklim 'harus' terdaftar pada kantor Kementerian Agama. Kemudian, pada poin 2 disebutkan pengajuan pendaftaran harus dilakukan secara tertulis. Nah, pada bincang malam itu Wamenag sibuk membela dengan mengatakan 'harus' itu 'berbeda' makna dan tafsirnya dengan 'wajib'.

Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra secara terbuka sudah meminta Menteri Agama Fachrul Razi segera mencabut Peraturan Menteri Agama tentang majelis taklim yang menuai kontra dari banyak masyarakat.

Menurut Azyumardi, negara terlalu jauh mengatur keagamaan yang selama ini dijadikan kaum ibu-ibu untuk menimba ilmu agama. "Cabut saja itu PMA. Pemerintah jangan terlalu jauh mengatur. Jangan seperti tidak ada pekerjaan lain," kata Azyumardi di Universitas Negeri Padang, Kamis (5/12).

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad bersikap sama dengan Asyumardi ketika menanggapi polemik PMA Majelis Taklim tersebut. Menurutnya, kalau PMA tentang majelis taklim tidak ada manfaatnya, sebaiknya tidak usah dilanjutkan saja.

"Menurut saya dicabut saja (PMA majelis taklim) kalau dianggap tidak bermanfaat, tapi kalau dianggap bermanfaat, revisi dengan mengajak ormas-ormas Islam untuk membicarakan perlu atau tidak (PMA itu)," kata Prof Dadang kepada Republika.co.id, Kamis (5/12).

Pakar hukum tata negara dan Ketua Umum ICMI, Jimly Ashiddiqie, mengatakan bisa memahami maksud baik pemerintah lewat PMA Majelis taklim tersebut. Tapi hendaknya dilakukan dengan terukur dan hati-hati sebab majelis taklim bukan organisasi di bawah negara.

"Kalau lembaga pendidikan yang ditanggung jawab pemerintah memang harus diatur oleh UU, PP, dan peraturan menteri. Tapi majelis taklim ini wilayahnya di luar negara. Maka enggak perlu ikut campur menteri mengatur, kalau mau diatur dengan UU, itu ciri negara demokrasi," ujarnya.

Jimly menegaskan, kalau negara mau mengatur, kemudian aturannya mengurangi kebebasan rakyat atau menambah beban rakyat maka harus diatur dengan UU. Bukan diatur dengan peraturan menteri meskipun maksudnya baik.

Ia menerangkan, yang dimaksud aturan berisi norma, larangan, kebolehan dan kewajiban. Maka pasti isinya membebani rakyat dan mengurangi hak rakyat. Aturan seperti ini tidak bisa diatur oleh peraturan menteri tapi harus diatur oleh UU.

Artinya, kalau ada aturan yang mengurangi kebebasan rakyat dan aturan yang menambah beban rakyat. Itu harus ditentukan sendiri atas persetujuan rakyat dengan membuat UU melalui wakil-wakil rakyat. "Jadi enggak bisa oleh peraturan menteri, lagi pula yang diatur di luar pemerintah, enggak perlu diatur oleh menteri, kejauhan meskipun niatnya baik," ujar Jimly.

Senada dengan itu semua, GP Ansor juga menganggap PMA Majelis Taklim tersebut tak perlu. Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor atau GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas, menyatakan aturan Menteri Agama Fachrul Razi terkait pendaftaran majelis taklim berlebihan. Yaqut menilai, Fachrul mestinya tak perlu terlalu mengurusi majelis taklim karena masih banyak persoalan yang harus diselesaikan.

"Itu berlebihan, saya kira menteri agama enggak usah ngurusi yang begitu-begitu deh. Terlalu remeh menteri ngurus begituan, banyak persoalan besar di negeri ini daripada sekadar ngurusi majelis taklim," ujar Yaqut di kantor wakil presiden, Jakarta, Rabu (4/12).

Alhasil, sekali lagi saya hanya tersenyum melihat Wamenag Zainut Tauhid 'ngotot' mengatakan 'harus' dan 'Wajib' itu kata yang tidak sinomim. Di sini saya tiba-tiba ingat sebuah kata dalam bahasa arab ketika belajar kitab kuning dulu:' La budda' (tidak bisa tidak). Entah ini berarti sama atau tidak sinonim dengan kata harus atau wajib?

wallahu'alam

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement