Senin 02 Dec 2019 13:40 WIB

Kontribusi Ulama Non-Betawi Merintis Pesantren di Jakarta

Ada dua pesantren yang dirintis ulama non-Betawi.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Pesantren
Foto: Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pesantren

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak sedikit pesantren di Jakarta didirikan kalangan ulama dari luar Jakarta. Mereka ikut merintis pondok-pondok pesantren di Jakarta.

Pengamat Sejarah Betawi, Ustaz Rakhmad Zailani Kiki mengatakan, setidak-tidaknya, terdapat dua pesantren yang tersohor sebagai hasil rintisan mubaligh non-Betawi di Ibu Kota. Keduanya adalah Pondok Pesantren Asshiddiqiyah (Jakarta Barat) dan Pondok Pesantren Daarul Rahman (Jakarta Selatan).

Baca Juga

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah dibangun oleh seorang ulama asal Banyuwangi, Jawa Timur, KH Noer Muhammad Iskandar. Lembaga ini resmi berdiri sejak 1 Juli 1985 di Kelurahan Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Sejak awal, Kiai Noer berharap, para santri setempat dapat mengikuti jejak perilaku para sahabat Rasulullah SAW. Lebih khusus lagi Abu Bakar, seorang yang amat dikenal kejujuran dan keberaniannya dalam membela Islam. Maka dari itu, pondok pesantren yang didirikannya dinamakan Asshiddiqiyah, seperti gelar Abu Bakar.

Pondok Pesantren Asshiddiqiyah menanamkan prinsip-prinsip dasar dalam pendidikan Islam. Misalnya, melestarikan ke biasaaan baik yang telah dilakukan sejak dahulu. Namun, pada saat yang sama, pesantren ini tidak menutup diri pada perkembangan zaman, asalkan masih selaras dengan ajaran agama.

Pesantren Asshiddiqiyah memiliki tiga prinsip dasar. Pertama, para santri dibimbing agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta membina iman dan tak wa secara lebih mendalam. Kedua, penanaman akhlak yang baik sebagai dasar hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Ketiga, penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Pesantren ini juga menyelenggarakan pendidikan formal yang terakreditasi, mulai dari tingkat ibtidaiyah (setara sekolah dasar) hingga aliyah (sekolah menengah atas). Saat ini, Asshiddiqiyah telah membuka banyak cabang tidak hanya di Jakarta, tetapi juga daerah-daerah, termasuk Banten, Jawa Barat, dan Sumatra Selatan.

Pesantren Daarul Rahman didirikan oleh KH Syukron Ma'mun. Ulama asal Pulau Madura tersebut mendirikan lem baga itu dengan bantuan kawan-kawan nya. Di antaranya adalah KH Antung Gho zali, KH Masyhuri Baidlowi, Ustaz Nur ha zim, dan KH Abdul Kadir Rahman. Selain itu, keluarga almarhum H Abdur rahman bin Naidi dan H Mohammad Noor Mugni serta masyarakat umum juga turut men dukung pembangunan Daarul Rahman.

Pesantren Daarul Rahman terbentuk sejak 1 Januari 1975. Lokasinya di Jalan Se nopati Dalam II, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sejak 2015, basis pesantren ini dipindahkan ke kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Hingga saat ini, Daarul Rahman sudah meluluskan ribuan orang santri yang berasal dari penjuru negeri. Di antara mereka, ada yang terjun di dunia politik hingga bisnis.

Sesuai dengan tuntunan perkem bangan zaman, Pesantren Daarul Rahman terus meningkatkan kualitas pengajaran. Dengan begitu, masyarakat Muslim pada umum nya tertarik untuk memondokkan anaknya ke sana. Selain itu, berbagai perluasan dan pembangunan cabang terus digencarkan.

Teranyar, Pesantren Daarul Rahman II telah berdiri di Kampung Jambu, Desa Sibantenng, Kecamatan Leu wiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Cabang lainnya dibangun di Jalan Sa wangan Elok, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Menurut Kiai Syuk ron, saat ini, ada sekitar 5.000 orang san tri yang mondok di ketiga lokasi pe san tren Daarul Rahman tersebut.

Mereka dari Jakarta, Jawa Barat, dan luar Jawa juga banyak. Dulu, juga sempat ada dari Singapura dan Malaysia, ujar Kiai Ma'mun kepada Republika, be berapa hari lalu. Menurut dia, kemajuan rata-rata pesantren di Ibu Kota saat ini patut di syukuri. Di Jakarta tempo dulu, lanjut dia, ha nya terdapat segelintir pesantren.

Namun, sekarang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Perkembangan pesantren semakin baik dan jauh lebih maju. Dulu, di Jakarta itu yang ada hanya Jamiat Kheir, asy-Syafiiyah, at-Thohiriyah. Sekarang, pesantren-pesantren sudah banyak sekali di Jakarta, ucap Kiai Ma'mun.

Mungkin, lanjut dia, banyak orang tua di Jakarta yang mulai khawatir dengan pergaulan bebas, maraknya tawuran antarpelajar, hingga peredaran narkoba. Maka dari itu, mereka mulai cenderung memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Kiai Ma'mun sepakat, lembaga pendidikan tradisional itu dapat turut menjaga moral dan akhlak generasi penerus bangsa.

Wali murid lebih tenang pikirannya kalau anaknya berada di pesantren sehingga pesantren-pesantren sekarang itu rata-rata penuh, kata dia. Di sisi lain, seluruh pesantren di Ibu Kota pun diharapkan terus berinovasi. Dengan demikian, pesantren tak akan tertinggal dari lembaga-lembaga pen didik an umum.

Pada saat yang sama sistem yang mereka terapkan hendaknya terus melatih para santri agar berakhlak yang baik dan disiplin. Sebab, itulah intisari pendidikan di pesantren. Disiplin dalam belajar, disiplin dalam pergaulan, disiplin dalam menjaga akhkak, dan dalam ibadah, ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement