Menurut kitab Veda, yang dimaksud rasa ialah rasa lezat yang diperoleh jiwa yang memperoleh pengalaman ruhani. Dalam Upanishad disebutkan bahwa rasa itu bersifat keruhanian dan trasendental, yaitu kenikmatan yang diperoleh apabila seseorang mengenal hakikat terdalam dan tertinggi dari tatanan wujud dalam kehidupan. Teori
Bharata merinci rasa yang disugestikan dalam karya sastra menjadi sembilan: Cinta, lucu, duka, berang, wira, ngeri, benci, kagum dan damai (santa). Rasa-rasa ini ada padanannya dalam jiwa manusia, rasa cinta berpadanan dengan berahi, lucu dengan riang, duka dengan sedih, berang dengan marah, wira dengan daya, ngeri dengan takut, benci dengan jijik, kagum dengan takjub, damai dengan tenang. Fungsi seni atau sastra ialah sebagai perantara atau penghubung antara pengalaman duniawi dengan pengalaman trasendental (Abdul Hadi W. M. 2000).
Konsep ini mirip dengan konsep Ibn `Arabi dan Jami, yang dikenal sebagai teori Alam Misal. Dalam teori ini karangan sastra dipandang sebagai mitsal atau simbol. Simbol mengandung dua aspek dari ruang dan waktu yang terbalik. Maksudnya karya sastra bisa merujuk kepada ruang di luar gambaran yang diberikan sastra, yaitu kehidupan di dunia. Walaupun yang digambarkan dalam karangan sastra itu hanya ‘seolah-olah’ mirip dengan apa yang kita alami dalam kehidupan keseharian. Pada saat yang sama, gambaran dalam sastra bisa berbalik jauh ke dalam di sebalik ungkapan-ungkapan formalnya (surah). Yaitu ke dunia makna yang bersifat keruhanian, yang ingin disugestikan pengarang. Dengan demikian karangan sastra berfungsi sebagai penghubung antara pengalaman duniawi dan pengalaman ruhani.
Dalam teori rasa disebutkan bahwa situasi estetik yang melatari karangan ialah penciptaan kembali rasa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, dengan cara menjadikannya universal melalui sarana-sarana puitik dan estetik tertentu. Yang digambarkan dalam karya sastra ialah sebab-sebab aktual (laukika kaarana) dan akibat-akibat aktual (laukika karya) dari suatu tindakan atau perbuatan, yang dipandang sebagai manifestasi dari perasaan-perasaan yang ada dalam kehidupan manusia. Faktor-faktor yang ada dalam kehidupan itu ditransformasikan menjadi jalinan-jalinan citraan yang membuat rasa yang satu berkaitan dengan rasa yang lain. Menurut Sankuka (abad ke-9 M) karya sastra digubah untuk memberi rangsangan atau sugesti terhadap rasa-rasa tertentu yang terpendam dalam jiwa manusia. Dunia dalam karya sastra adalah dnia imaginatif walaupun seolah-olah menggambarkan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata. Agar sugesti bisa dicapai, gambaran berkenaan dengan rasa itu ditingkatkan. Misalnya terbitnya cinta dgambarkan secara romantik melalui keindahan alam yang memabukkan.
Setelah abad ke-15 M dapat dikatakan sastra Jawa Kuna terhenti perkembangannya sebagai dampak dari runtuhnya kerajaan Majapahit. Tidak ada lagi ciptaan baru, kecuali gubahan-gubahan atau adaptasinya dalam sastra Jawa Madya dan Bali, sebagian lagi dalam sastra Sunda, Sasak, Madura dan Melayu. Yang paling terkenal misalnya ialah adaptasi kisah Pandawa, Damarwulan dan Cerita Panji. Tetapi tidak jarang gubahan itu menunjukkan adanya sinthesis estetika Hindu-Jawa dan Melayu Islam (Sufi). Tetapi eksistensi sastra Jawa Kuna berlanjut di pulau Bali. Sementara itu pada abad ke-18 M sastra Jawa mengalami renaissance di kraton Surakarta.
Estetika Sinthetis Hindu-Islam
Pada masa ini teks-teks sastra Jawa Kuna disadur kembali ke dalam bahasa Jawa Baru. Kecuali itu, yang juga menarik, ialah penyaduran karya-karya atau teks-teks sastra Melayu Islam seperti Taj al-Salatin, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Johar Manik, Surat al-`Anbioya, dan lain-lain. Banyak karya yang dilahirkan pada zaman ini mencerminkan sinthesa estetika Jawa-Hindu dan Melayu-Islam, seperti terlihat dalam Serrat Cabolek dan Serat Dewa Ruci. Sinthesa juga kita lihat dalam Serat Menak yang merupakan gubahan dari Hikayat Amir Hamzah. Pengarang terkemuka yang mula-mula muncul sebagai penggubah kembali teks-teks Jawa Kuna dan Melayu itu ialah Yasadipura I, pujangga kraton Surakarta yang hidup pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan Pakubuwana III (Soebardi 1975:35-45).
Contoh sinthesa estetika Jawa dan Islam tampak dalam Serat Cebolek dan Serat Dewa Ruci karya Yasadipura I. Pengarang ini memperoleh pendidikan Islam di pesantren yang ketika itu tasawuf merupakan salah satu mata pelajaran penting yang harus dipelajari oleh para santri. Tokoh dalam cerita gubahan Yasadipura I itu, Bima dan gurunya Pendita Drona, diambil dari Mahabharata. Oleh gurunya Bima diperintahkan mencari air hayat (ma` al-hayati), mula-mula di puncak gunung yang dihuni ular naga dan raksasa, kemudian setelah diketahui air yang dicari tidak ada di situ, maka Bima diperintahkan mencarinya ke dalam laut. Di dalam laut ia berjumpa makhluq kecil berkilauan seperti boneka, namun wujudnya mirip dengan dirinya. Demikianlah kisah itu digubah sebagai sebuah alegori sufi yang memaparkan perjalanan ruhani seorang ahli suluk dalam mencapai persatuan mistik dengan Yang Hakiki (Pamoring kawula Gusti) . Dewa Ruci adalah simbol hakikat diri atau ‘diri ruhani’ manusia.
Walaupun wadah alegori ini adalah cerita pewayangan, begitu pula istilah-istilah mistisisme yang digunakan. Tetapi konsep yang digunakan, berasal dari sastra Islam, begitu pula wawasan estetiknya. Tamsil air hayat atau ma`al-hayat misalnya, yang merupakan simbol makrifat, diambil dari syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri. Begitu pula pengertian ‘persatuan hamba dan Tuhan’ (pamoring kawula Gusti) ternyata hanya dapat dirujuk pada tasawuf Melayu, bukan pada mistisisme Hindu seperti falsafah Vedanta dan Yoga. Uraian tentang kalbu jelas bersumber dari kitab Ihya` Ulumuddin III karangan Imam al-Ghazali. Sedangkan konsep berkenaan tatanan wujud yang digunakan dalam Serat Dewa Ruci diambil dari falsafah Ibn `Arabi dan Syamsudin al-Sumatrani. Tetapi para peneliti sastra Jawa tidak pernah menggubris kenyataan ini. Padahal menurut Nancy Florida dan Woodward (1999), tidak mungkin memahami teks-teks Jawa pada umumnya tanpa disertai pemahaman terhadap Islam, khususnya tasawuf dan sastra sufinya (lihat juga Taufik Abdullah 1997).
Sastra Melayu Islam
Warisan kedua yang khazanah sastranya begitu kaya ialah yang berasal dari peradaban Islam. Sastra warisan peradaban Islam ini untuk pertama kalinya berkembang di kepulauan Melayu dan hadir dalam bahasa Melayu. Ia tumbuh sejak abad ke-13 M dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-16 - 17 M. Mata rantai perkembangannya yang awal bermula di Samudra Pasai (1270-1415 M), Malaka (1400-1511 M) , kemudian berlanjut di Aceh Darussalam (1516-1700 M) dan pusat-pusat kebudayaan Islam lain seperti Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Deli, Kelantan, Brunei Darussalam, dan bahkan dapat dikatakan hampir seluruh tanah Semenanjung Malaya dan kepulauan Melayu.
Warisan peradaban Islam ini tidak hanya wujud dalam khazanah sastra Melayu. Ketika agama Islam tersebar luas di kepulauan Nusantara pada abad ke-16 dan 17 M, bahasa Melayu pun ikut terangkat kedudukan dan perannya. Demikian pula kesusastraannya, yang merupakan hasil gosokan halus dari para pujangganya yang piawai, yang bukan saja ahli sastra dan bahasa, tetapi juga ahli agama dan guru keruhanian terkemuka pada zamannya. Sejak lama bahasa Melayu dijadikan media penyebaran agama Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam di kepulauan Nusantara. Pada abad ke-16 – 17 M, bahasa yang semula hanya berperan sebagai lingua franca dalam dunia perdagangan itu telah bangkit dan muncul sebagai bahasa pergaulan utama antar etnik dan bangsa yang berbeda-beda di Nusantara dalam bidang politik, keagamaan dan intelektual.
Sebagai dampak dari kedudukan bahasa Melayu, maka sastra Melayu pun juga naik perannya. Ia lantas menjadi sumber ilham dan teladan bagi sastrawan Nusantara dari etnik yang berbeda-beda itu dalam upaya untuk menghidupkan sastra Islam di daerah mereka masing-masing. Hikayat-hikayat Melayu Islam lantas disadur dan diolah kembali dengan sentuhan realitas dan budaya setempat. Khazanah peradaban Islam itu pun lantas muncul dalam bentuk sastra Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis, Makassar dan lain-lain, suatu pencapaian yang tidak pernah diraih peradaban Hindu Buddha sebelumnya.
Dengan demikian seperti halnya agama Islam, bahasa dan sastra Melayu telah memberikan dasar-dasar ‘integrasi’ bagi penduduk Nusantara yang multi-etnik, multi-budaya dan multi-bahasa itu. Ini tidak bisa dilakukan oleh peradaban Hindu dan Buddha yang elite-aristokratik, dan hanya terkungkung dalam satu etnik tertentu. Selain itu Islam juga memberikan dasar-dasar nasionalisme (proto-nasionalisme) bagi bangsa Indonesia, oleh karena hanya dengan hadirnya gerakan-gerakan anti-kolonial yang dipelopori Islam sepanjang abad ke-18 dan 19 M, nasionalisme Indonesia mendapat ciri dan corak khas yang berbeda dari nasionalisme Eropa, Jepang dan lain-lain. Nasionalisme Indonesia yang awal ialah menolak dominasi asing di bidang politik, menolak eksplotasi asing di bidang ekonomi dan menolak pemaksaan budaya asing oleh pemerintah kolonial.
Maka benarlah Kern (1917) yang mengatakan: “Kedatangan Islam telah membawa perubahan besar dalam jiwa masyarakat Melayu Nusantara. Perubahan besar itu berupa pembebasan dari belenggu mitologi yang sebelumnya mengkungkung pikiran bangsa Melayu. Datangnya Islam menyuburkan kegiatan intelektual Melayu melalui lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya sehingga membimbing bangsa Melayu kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan tradisi penggunaan akal pikiran secara lebih meluas disbanding sebelumnya.” Di bawah penerangan dan cahaya inilah sastra warisan peradaban Islam itu berkembang, khususnya di dunia Melayu.
Seperti telah dikemukakan, kesusastraan Melayu mulai menapak puncak perkembangannya pada akhir abad abad ke-16 dan kian subur perkembangannya pada abad ke-17 – 19 M. Proses menuju puncak perkembangannya itu ditandai dengan: (1) Derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu sejak pertengahan abad ke-16 M. Agama Islam tidak lagi dipeluk secara formal, tetapi ajarannya diresapi lebih mendalam dan dijadikan cermin untuk melihat realitas dan dunia. Dengan kata lain Islam dijadikan bagian utuh dari ‘kedirian’ Melayu. Dalam hal ini kebudayaan harus diartikan sebagai pandangan hidup (way of life), sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung atau worldview). (2) Kian menonjolnya peranan penting ulama-ulama dan cendekiawan sufi dalam proses islamisasi kebudayaan Melayu. Mereka itu adalah sastrawan dan mengemukakan gagasan dan pemikiran mereka melalui karya sastra. Dengan sendirinya kitab-kitab keagamaan dan sastra memainkan peranan penting dalam meletakkan sendi-sendi dan dasar-dasar kebudayaan Melayu (lihat juga al-Attas 1972)
Tidak kalah penting ialah peranan lembaga-lembaga pendidikan Islam kian mantap di pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara pada masa ini. Lembaga-lembaga pendidikan ini tidak hanya bercorak kedaerahan, yang menerima kehadiran dan murid dari daerah setempat. Tetapi juga dari berbagai daerah lain (Graves 1981:22). Karena itu penggunaan bahasa Melayu menjadi penting dan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa ini dijadikan bacaan dan sumber rujukan utama. Melalui lembaga-lembaga pendidikan dan ulama-ulama pesantren yang memiliki jaringan luas itulah jaringan intelektual Islam terbentuk. Dengan demikian penetrasi kebudayaan dan sastra Melayu tidak terhindarkan di wilayah-wilayah luas kepulauan Nusantara.
Pada masa inilah muncul tokoh besar di bidang penulisan sastra. Yang paling terkemuka dari mereka ialah Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari dan Syamsudin al-Sumatrani. Murid-murid dan pengikut mereka tersebar di hampir seluruh penjuru kepulauan Melayu, bahkan sampai ke tempat lain di kepulauan Nusantara. Karya-karya mereka menandai dua gejala dominan dari gelombang baru pemikiran Islam dan tradisi intelektual Melayu. Dua gejala dominan itu ialah : Pertama, hadirnya renungan-renungan yang mendalam tentang hubungan manusia dan Tuhan, serta makna penciptaan dan kedudukan manusia selaku khalifah Allah di muka bumi yang bertola dari metafisika dan falsafah sufi. Ini tercermin dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Kedua, munculnya teori kekuasaan yangbertolak dari pendekatan sufistik seperti terlihat dalam karya Bukhari al-Jauhari (Taj al-Salatin) dan Nuruddin al-Raniri (Bustan al-Salatin). Negara tidak lagi dipandang sebagai refleksi kedirian seorang raja seperti pada zaman Hindu, melainkan sebagai pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan harmonis antara raja dan rakyat, antara makhluq dan Khaliq (Taufik Abdullah 2002).
Periode ini disebut oleh Braginsky (1993) sebagai ‘periode kesadaran diri’. Banyak pembaruan dilakukan pada masa ini.
Setelah tiga tokoh yang disebutkan tadi muncul pula pembaru sastra dan pemikiran keagamaan, seperti Nuruddin al-Raniri, Tun Sri Lanang, Abdul Rauf Singkel, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Jamaluddin al-Tursani, dan lain-lain. Kebaruan karya-karya Melayu abad ke-16 dan 17 M tampak pertama kali dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, karya-karya bercorak adab Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri. Salah satu di antaranya yang terpenting ialah keberanian pengarang untuk mengekspresikan pengalaman dan pengetahuan pribadinya. Ini dimungkinkan karena mereka berkarya berdasarkan estetika sufi dan ilmu tasawuf. Dalam kenyataan pengalaman rohani dalam tasawuf hanya bisa diperoleh secara personal.
Dalam hubungannya dengan perkembangan kebudayaan, karya-karya mereka itu seperti dapat dikatakan dalam batas tertentu, berhasil menyadarkan pembaca Nusantara tentang betapa pentingnya budaya membaca dan menulis bagi perkembangan dan kelangsungan peradaban (Braginsky 1992). Arti penting lain ialah karena sampai abad ke-19, karya-karya tersebut menjadi teladan dan dijadikan sumber ilham bagi penulis Nusantara lain dalam bahasa ibu mereka masing-masing. Malahan beberapa gagasan penting mereka, termasuk wawasan estetiknya, dilanjutkan oleh beberapa penulis abad ke-20 dengan memberinya cita rasa modern, seperti Sanusi Pane, Amir Hamzah, Ali Hasymi, Hamka, Aoh K. Hadimadja, dan lain-lain. Beberapa penulis terkemuka Angkatan 70 juga menggemakan kembali suara-suara para sufi Melayu abad ke-16 dan 17 M dalam konteks baru situasi budaya dan kondisi kemanusiaan. Contoh terbaik ialah Kuntowijoyo, Danarto, M. Fudoli Zaini dan Sutardji Calzoum Bachri. Penulis Indonesia yang menggemakan suara para sufi Melayu itu ialah Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, Hamid Jabbar, Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmadun Y. Herfanda, dan lain-lain. (BERSAMBUNG)