Selasa 03 Dec 2019 14:37 WIB

Krisis Identitas Penyebab Milenial Terpapar Radikalisme

Krisis identitas dimulai dari xenofobia.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Radikalisme (ilustrasi)
Foto: punkway.net
Radikalisme (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Intelijen Nasional (BIN) beberapa waktu lalu mengeluarkan hasil survei terkait kampus-kampus di Indonesia yang terpapar radikalisme. Hasilnya, tujuh perguruan tinggi dari 15 provinsi positif terpapar radikalisme.

Menanggapi hal ini, Ketua Umum PB Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Juventus Prima Yoris Kago menyebut krisis identitas menjadi salah satu penyebabnya.

Baca Juga

"Dalam diri milenial ada beberapa krisis yang sedang menjangkiti, yakni krisis identitas. Ini dimulai dari krisis global yang makin menyebar, yakni xenofobia," ujar Juventus di Auditorium HM Rasjidi, Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (3/12).

Dalam acara Seminar Sehari yang digelar Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini, ia menyebut xenofobia mulanya muncul di wilayah Eropa. Krisis ini menganggap seseorang merupakan orang paling hebat, paling kuat, dan paling benar. Xenofobia membuat orang-orang mengalami ketidaksukaan atau ketakutan akan orang asing.

Krisis identitias ini dipercaya ada hubungannya dengan perkembangan teknologi dan informasi atau yang dikenal dengan revolusi industri 4.0. Pertarungan antara dunia nyata dan dunia virtual sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir pengguna media sosial atau internet.

Untuk meminimalisasi efek buruk media sosial, Juventus menilai perlu dilakukan literasi media. Berkembangnya internet dan media sosial menyebabkan hilangnya batas akan nilai dan norma.

"Harus ada filter dan literasi media. Pengguna media sosial harus tahu mana yang bagus untuk konsumsi publik dan mana konsumsi pribadi. Minimal penggunaan sosial media bisa membawa dampak positif," ujarnya.

Ketum PB PMKRI ini juga menyebut milenial memiliki beberapa keunggulan, di antaranya kreatif, responsif, dan kemampuan menjaga nilai dan norma. Semangat yang membara harus diimbangi dengan menjaga nilai dan norma.

Terkait moderasi beragama dan toleransi, ia menyebut kemanusiaan adalah hal yang penting dalam agama. Menyontek ucapan Mahatma Gandhi, Juventus menyebut nasionalisme aktivis sosial ini adalah kemanusiaan.

"Jika nilai dan norma serta kemanusiaan ini kita pegang teguh, tidak ada lagi survei-survei yang menyebut mahasiswa terpapar radikalisme. Kita percaya ada nilai yang tinggi yang tercermin dalam setiap agama, yakni kemanusiaan,' ucapnya.

Selain itu, untuk menghindari paparan radikalisme, ia menyebut ada empat hal yang bisa menjadi perhatian. Empat hal ini adalah penguatan pendidikan agama oleh guru, literasi dan filter penggunaan media sosial, dialog kultural, serta partisipasi semua kalangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement