Kamis 21 Nov 2019 11:41 WIB

Takwil Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya

Takwil Imam Bukhari dalam Kitab Shahihnya

Takwil Imam Bukhari
Foto:

Dalam konteks ini, penafsiran dengan menggunakan metode takwil itu penting. Menurut para ulama Salaf, "tangan" Nabi dimaknai dengan kekuatan, sedangkan "penglihatan" Nabi dimaknai dengan keluasan ilmu ataupun wawasan. Dengan menggunakan metode takwil, ayat tersebut menjelaskan bahwa ketiga Nabi itu mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan dan keluasan ilmu dibandingkan manusia lainnya.

Jadi, "tangan" dialihkan maknanya menjadi "kekuatan", dan "penglihatan" dialihkan maknanya menjadi "keluasan ilmu." Bila kita memahami "penglihatan" dan "tangan" tersebut secara literal (harfiah), apa spesialnya tangan dan penglihatan para Nabi itu secara fisik? Itulah sebabnya, dalam konteks ayat ini, "tangan" dan "penglihatan" ketiga Nabi tersebut tidak dipahami secara fisik, tetapi dipahami sesuai konteks.

Bila kita memahami metode takwil secara benar dengan cara merujuk pendapat para ulama Salaf, kita juga bisa memahami ayat-ayat suci yang melintas batas teks agama-agama.

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) adalah guru Imam Bukhari (w. 256 H). Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) salah seorang generasi Salaf yang hidup sezaman dengan Imam Bukhari (w. 256 H) ternyata juga mentakwil ayat QS al-Fajr 89:22 yang berbunyi demikian:

وجاء ربك

"Maka datanglah Tuhanmu" (Qs. Al-Fajr 89:22). Istilah جاء (ja'a) dalam ayat ini tidak dipahami dalam pengertian "datang" secara fisik sebab Tuhan itu "tan kena kinaya ngapa."

Demi menghindari pemahaman "tajsim" tersebut, Imam Ahmad bin Hanbal mengalihkan maknanya dengan frase انه جاء ثوابه (annahu ja'a tsawabuhu), yang artinya: "Sesungguhnya Dia datang dengan pahala-Nya." Imam Ahmad bin Hanbal "menambahkan" kata ثوابه (pahala-Nya) sebagai "kata penjelas" bahwa Allah "datang" dengan pahala-Nya, bukan fisik-Nya.

Pernyataan Imam Ahmad ini dikutip oleh Imam Ibn Katsir, dan beliau mengutip pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal dgn kata-kata yang sangat jelas, ان احمد ابن حنبل تاول ("Sesungguhnya Ahmad bin Hanbal mentakwil"). Hal ini menurut Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) sanad-nya valid, tidak ada cacatnya.

QS Shad 38:45 menyebutkan nama يعقوب (Ya'kub) sebagai salah satu Nabi yang memiliki "tangan" dan "penglihatan", yang tentu saja hal itu tidak bisa dipahami secara literal. Fakta ini juga senada sebagaimana penggambaran Torah atas keistimewaan Yakub. Dalam kitab Torah, khususnya Sefer Bereshit 31:3 juga disebutkan sebuah pesan bahwa Tuhan akan menyertai Yakub.

Teks Ibraninya menyatakan demikian :

ויאמר יהוה אל יעקב שוב אל אל-ארץ אבותיך ולמולדתך ואהיה עמך

"Way-yomer ADONAI el Ya'akov shuv el eretz avoteycha u-lemoladettecha we Ehyeh 'immecha."

Terjemahan literal ayat tersebut adalah: "Dan TUHAN berfirman kepada Yakub: "kembalilah ke tanah leluhurmu dan tanah kelahiranmu dan Aku akan menyertaimu."

Para rabbi tidak pernah memahami ayat ini secara "tajsim", sebab TUHAN tidak mungkin datang secara fisik untuk menyertai Yakub. Rabbi Onqelos, penulis Targum Onqelos yang menyusun kitab Targum-nya dalam bahasa Aram pada abad ke-1 M, ternyata di dalamnya dijelaskan bahwa TUHAN tidak menyertai Yakub secara "tajsim", tetapi firman-Nya yang akan menyertai Yakub.

Itulah sebabnya, pada teks Targum ditambakhan kata מימרי (baca: Meimri), artinya: "firman-Ku." Jadi yang akan menyertai Yakub hanyalah "firman TUHAN" dan bukan wujud fisik Tuhan. Sefer Bereshit 31:3 tertulis demikian.

ואמר יי ליעקב תוב לארעא דאבהתך ולילדותך ויהי מימרי בסעדך

"Wa amar ADONAI le Ya'kov tuv le ar'a d'avahatach u-le yalladuttach wi yhey Meimriy besa'eddach."

("TUHAN berfirman kepada Yakub: "Kembalilah ke tanah leluhurmu dan ke tanah kelahiranmu, dan firman-Ku akan senantiasa menyertaimu").

Penyebutan adanya diksi "tangan Allah" dan penggambaran "tangan Allah" secara antropomorfisme pada semua kitab suci itu merupakan sebuah fakta redaksional. Narasi teks tersebut sudah pasti diaggap sakral, dan tidak bisa dipungkiri bahwa pada kitab suci semua agama, kita akan temukan redaksional yang bercorak antropomorfisme teologis, misalnya "Tuhan berjalan", "Tuhan tertawa", "Tuhan berlari", "Tuhan datang", "tangan-Nya", "telapak tangan-Nya", "punggung-Nya", wajah-Nya, dan sebagainya.

Hal ini tentu saja karena semua kitab suci tersebut tertulis dalam media "human language" yang memang ditujukan kepada manusia itu sendiri. Ciri khas budaya serta sastranya otomatis terbawa serta, sekaligus mengikuti pola bahasa di mana kitab itu ditulis, atau dalam bahasa dogma hal ini dikenal dengan sebutan "tanzil" ("diturunkan").

Antropomorfisme teologis digolongkan dalam jenis bahasa sastrawi yang bersifat metafora (kiasan) karena ia mencakup area manifestasi transenden. Dalam tradisi Yahudi maupun Islam, bahasa bercorak sastrawi ini dikenal dengan sebutan bahasa takwil agar ungkapan antropomorfisme teologis yang dalam keparadoksiannya bersifat "bahasa tasjim" dapat dimengerti sesuai tuntunan pemahaman monoteisme yang sempurna.

Namun, dalam konteks ini Tuhan sebenarnya tidak berjisim. Penjelasan dan pengajaran ungkapan antropomorfisme teologis sebagaimana yang termaktub dalam Quran tersebut dapat dipahami melalui tradisi takwil para ulama generasi awal, yang memang mereka memahami gramatika ataupun sastra Arab karena ungkapan antropologis teologis berciri metaforis (kiasan). Dengan demikian, teksnya seharusnya ditakwilkan dan ini bukanlah suatu usaha allegorisasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement