Oleh: Erdy Nasrul, Jurnalis Republika
Radikalisme menyadarkan dan menginspirasi jutaan orang untuk melakukan perubahan besar.
Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia dijejali istilah radikal dan radikalisme yang dianggap berbahaya. Diksi ini kerap dikaitkan dengan terorisme sehingga berkonotasi negatif dan menakutkan masyarakat. Mereka yang disebut radikal dianggap sebagai orang-orang ‘garis keras’ yang mengancam negeri, identik dengan kekerasan, bom bunuh diri, dan pemahaman dangkal.
Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Agama Fachrul Razi untuk mencegah radikalisme dalam acara pelantikan Kabinet Indonesia Maju pada Oktober 2019. Belum lama ini, pemerintah melalui Kementerian Agama berencana merombak konten buku pelajaran agama. Dengan berdalih mencegah radikalisme di lingkungan pendidikan Islam, konten buku akan dibuat lebih mengedepankan toleransi yang dianggap sesuai dengan Pancasila dan keindonesiaan.
Di forum internasional, radikalisme juga menjadi pembahasan menarik perhatian, seperti di lembaga nirlaba Chautauqua institution di New York Amerika Serikat. Beberapa tahun lalu, forum yang kerap dihadiri ratusan pemuda Amerika Serikat ini menghadirkan mantan direktur jenderal badan intelijen Kerajaan Inggris MI5, Stella Rimington. Di hadapan ratusan orang pada musim panas, dia berbicara tentang paham dan gerakan radikal.
Namun, sebelum berbicara panjang lebar, dia membagi pembahasan istilah itu menjadi dua. Pertama adalah sebagai sifat yang bermakna positif karena telah menginspirasi gerakan reformasi besar di Eropa. Kedua, ini yang menjadi masalah, adalah radikal dengan makna gerakan yang mengancam stabilitas keagamaan dan menjadi atensi khusus pemerintahan.
Apa sebenarnya makna dan asal-usul istilah radikal? Apakah benar bermakna negatif dan menakutkan seperti yang selama ini didengungkan kalangan akademisi, politisi, dan aparatur negara? Atau kata ini punya makna lain yang justru bertentangan dengan yang selama ini dipahami masyarakat luas?
Hakikat dan penggunaan istilah radikal
Kamus Miriam Webster menjelaskan asal radikal. Pada mulanya adalah kata sifat yang pada abad ke-14 diambil dari bahasa Latin radicalis. Asal katanya adalah radic atau radix. Artinya adalah akar.
Revolusi Prancis telah mengilhami masyarakat Eropa untuk menuju kebebasan. Mereka tak lagi ingin dibodoh-bodohi oleh monarkhi dan kalangan bangsawan yang terlalu mendominasi kehidupan. Dari Prancis, gerakan ini menyebar ke negara sekitarnya, termasuk Inggris yang pada abad ke-17 bersitegang dengan koloni Amerika: tempat orang-orang Inggris berpindah untuk hidup di ‘dunia baru’.
Perang sipil ketika itu berlangsung dengan semangat memperjuangkan egalitarianisme. Termasuk di dalamnya persamaan di mata hukum, kedaulatan negara, hak memilih, dan toleransi beragama. Gerakan ini memancing pro dan kontra di kalangan keluarga kerajaan dan masyarakat sipil. Keluarga kerajaan berupaya mempertahankan pengaruh mereka sebagai golongan istimewa. Sedangkan kalangan masyarakat sipil berjuang untuk persamaan sehingga tak lagi dibedakan dengan para bangsawan.
Masyarakat ingin bebas memilih pemimpinnya sehingga mereka juga berperan menentukan arah pembangunan. Ketika itu pemilihan umum berlangsung dengan sangat terbatas. Pengumpulan suara dibatasi hanya dari kalangan pemilik harta yang tidak merefleksikan semangat kemajuan dan jauh dari keadilan. Masyarakat sipil tidak mempunyai suara untuk mendukung pemimpin kota dan anggota parlemen. Mereka hanya penonton yang menyaksikan penghitungan suara.
Karena sistem pemilihan wali kota terbatas, kursi parlemen dapat dibeli atau dikendalikan para tuan tanah. Masyarakat ketika itu melawan. Demonstrasi berlangsung di mana-mana. Para pesertanya adalah mereka yang dikenal sebagai Whig radikal. Gerakan kiri ini pada kemudian hari menjadi partai politik.
Sejumlah tokoh yang memperjuangkan persamaan hak bermunculan. Ada William Beckford (1 Oktober 1760 – 2 Mei 1844) di London, John Wilkes (17 Oktober 1725 – 26 Desember 1797) yang melawan kebijakan perang melawan negeri-negeri koloni dengan publikasi The North Briton. Juga sejumlah tokoh yang bermunculan di berbagai daerah Inggris. Pendapat mereka termaktub dalam berbagai surat kabar dan menjadi perbincangan publik.
Encyclopedia Britannica mencatat, penggunaan kata radikal menggambarkan situasi politik anggota Parlemen Inggris Charles James Fox (24 January 1749 – 13 September 1806). Dia tampil sebagai pemimpin gerakan ‘sayap kiri’ Partai Whig pada pertengahan abad ke-19. Tak sendirian, para tokoh republikan Prancis juga memiliki semangat yang mirip dengan Whig, karena sama-sama memperjuangkan kebebasan berpendapat (termasuk pers) dan menekan aristokrasi yang dinilai tidak memberi ruang yang cukup untuk kebebasan.
Pada 1797, Fox menggemakan “reformasi radikal” sistem elektoral. Kali ini radikal tak hanya menjadi sifat. Dia sudah menjelma menjadi radikalisme yang menyadarkan dan menginspirasi jutaan orang untuk melakukan perubahan besar. Sejak itu, istilah radikal digunakan secara luas menjadi penanda gerakan yang mendukung reformasi parlemen.
Pada permulaan abad ke-19, gerakan radikal ini menggerakkan para pekerja seni dan buruh untuk melawan pemerintah yang represif.
Gerakan mereka mendapatkan dukungan intelektual setempat yang hingga kini pendapatnya tentang hukum dirujuk masyarakat dunia. Dia adalah jebolan Universitas Oxford yang berjasa dalam reformasi radikal hukum Inggris. Namanya Jeremy Bentham (15 Februari 1748 - 6 Juni 1832).
Figur strategis inilah yang merancang perubahan sistem pemilihan dan penguatan sistem parlemen di Inggris. Buku pertamanya yang terbit pada 1776 berjudul A Fragment on Government. Sub pembahasan eksaminasi dalam pengantar untuk komentar bangsawan Sir William Blackstone, memuat sikap Bentham yang kritis dan menggugah hati publik. Bentham menemukan kesalahan besar dan fundamental Blackstone yang tidak mendukung gerakan reformasi. Dari berbagai karya yang pernah dibuat, pendirian Bentham dalam buku ini adalah yang paling unik. Sangat jelas dan mendalam. 'Encyclopedia of Britannica' mengabadikan karya ini sebagai permulaan radikalisme filosofis.
Bentham adalah intelektual yang menginisiasi jurnal 'Westminster Review' bersama John Stuart Mill. Orang-orang ketika itu menyebut jurnal tersebut sangat filosofis dan radikal, menggambarkan falsafah utilitarian, bahwa tindakan yang benar harus terukur dengan tujuan untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Karena mendapat dukungan akademisi dan warga yang gerah dengan sistem yang ada, radikalisme menjadi angin segar yang menginspirasi gerakan partai liberal Inggris. Mereka berada pada garda depan mengubah sistem elektoral mematahkan opsi pendukung konservatif yang setengah hati untuk memperkuat kewenangan parlemen. Sejak itu, parlemen menjadi representasi suara masyarakat luas. Aspirasi rakyat disalurkan melalui jalur perwakilan parlemen.
Pada momentum tersebut Partai Whig berhasil mengalahkan partai konservatif. Perwakilan mereka masuk ke parlemen. Merekalah yang menyuarakan undang-undang reformasi 1832. Kader Partai Whig mengenalkan reformasi radikal: menghapus perbudakan.
Bagaimana pun, gerakan radikal berakhir dengan kompromi antara monarkhi dan masyarakat. Tidak berakhir sampai penggulingan kerajaan seperti di Prancis dan sejumlah negara Eropa. Sejak itu, keadaan ekonomi membaik pada abad ke-19. Inggris Raya menjalankan ekonomi dan penegakkan hukum berdasarkan konstitusi yang bersumber dari suara masyarakat, sehingga rakyat berperan mengontrol pemerintah agar terhindar dari upaya represif.