Oleh: Menachem Ali, Dosen Philology Universitas Airlangga.
Semua kitab suci tradisi Semitik ternyata menggambarkan TUHAN yang tanpa wujud "jism" itu dengan memanfaatkan "bahasa manusia" (human language). Personifikasi TUHAN dengan menggunakan bahasa manusiawi tersebut secara akademik disebut "antropomorfisme teologis." Dengan kata lain, personifikasi TUHAN (theos) dengan cara menggambarkan-Nya sesuai morfē (wujud atau rupa) anthropos (manusia) merupakan sebuah keniscayaan. Dengan demikian, antropomorfisme ini tentu saja tidak mungkin dihindari, sebab TUHAN sendiri telah mewahyukan firman-Nya dalam bahasa manusia. Artinya, sejak semula firman-Nya diwahyukan dalam bahasa kaumnya. Kitab suci Quran menegaskan dengan frase penting, yakni "bi-lisani qawmihi" (dengan bahasa kaumnya).
Dalam konteks inilah maka "bahasa manusia" yang mempersonifikasikan TUHAN dapat disebut sebagai "bahasa sastra" atau lebih tepatnya "bahasa metaforis." Dalam dunia Islam, bahasa metaforis ini kemudian dikenal sebagai metode takwil. Jadi, metode takwil merupakan upaya mengalihkan makna dari kosa kata aslinya atau mengganti dengan kosa kata lain yang bermakna lain. Dalam ilmu teologi, peredaksian teks yang demikian ini disebut alegorisasi, dan dunia Islam menyebutnya metode takwil.
Dalam agama Yahudi (Yudaisme), tradisi ta'wil merupakan episteme yang memahami TUHAN secara impersonal tatkala berkaitan dengan perbincangan wujud TUHAN. Tema mengenai tradisi ta'wil dalam memahami teks Torah dan teks Quran tersebut akan saya kutipkan melalui pembahasan dan pembuktian teks lintas agama, yang terdokumentasi sejak Abad ke-1 M. hingga Abad ke-10 M., terutama melalui kajian kitab-kitab Targum generasi Tana'im (versi Yahudi) hingga kitab-kitab Tafsir generasi Salaf dan Khalaf (versi Islam).
Menariknya, tradisi ta'wil terhadap nas wujud TUHAN ini bertahan selama 1000 tahun sejak penulisan Targum dalam bahasa Aramaik era pra-Islam hingga pembukuan kitab-kitab Tafsir dalam bahasa Arab era pra-Abad Pertengahan. Dengan kata lain, tradisi ta'wil terhadap wujud TUHAN yang impersonal atau anti-tajsim itu ternyata dalam budaya Semitik telah bertahan selama 1000 tahun sejak era pra-Islam hingga era Islam.
Dalam kitab Talmud Bavli, traktat Megillah 3a disebutkan bahwa Onqelos, penulis Targum Onqelos, adalah murid Rabbi Joshua dan Rabbi Eliezer. Onqelos atau dalam bahasa Yunani namanya disebut Aquilas ternyata hidup pada Abd ke-2 M., sedangkan Rabbi Joshua dan Rabbi Eliezer keduanya hidup pada Abad ke-1 M. Dengan demikian, Targum Onqelos merupakan bentuk kompilasi pengetahuan metode ta'wil yang ditransmisikan sesuai sanad dari generasi Tana'im sejak era awal Masehi. Dengan demikian, para Rabbi era Abad ke-1 M. secara keilmuan menggunakan metode ta'wil dalam memahami wujud TUHAN sebagaimana yang termaktub dalam nas kitab suci Torah, dan mereka juga menentang pemahaman tajsim (antropomorfisme), sebab pemahaman tajsim merupakan penghujatan (Ibrani: Shituf) terhadap TUHAN.
Sefer Yesaya 48:13 dalam teks Ibrani tertulis demikian.
אף ידי יסדא ארץ
"Af yadiy yasdah eretz ....."
(Tangan-Ku juga meletakkan dasar bumi ....")
Berdasarkan ayat ini, TUHAN meletakkan dasar bumi dengan tangan-Nya, teks Ibraninya tertulis ידי - yadiy ("tangan-Ku"). Bagaimanakah TUHAN yang tak bisa dibayangkan wujud-Nya itu tangan-Nya digambarkan secara bahasa manusiawi yang bersifat personal? Apakah tangan TUHAN itu seperti tangan manusia? Apakah tangan-Nya itu seperti tangan Semar atau Petruk, kedua tokoh sentral dalam dunia pewayangan? Mahasuci Dia dari sifat-sifat keterbatasan makhluk-Nya seperti itu. Itulah sebabnya, demi menghindari pemahaman tajsim (antropomorfisme) yang dinisbatkan kepada TUHAN, maka istilah Ibrani ידי (yadiy) (tangan-Ku) dialihkan maknanya dalam pola takwil. Targum Yonathan, teks yang ditulis pada Abad ke-2 M. dalam bahasa Aram juga disebutkan demikian:
אף במימרי שכלילית ארעא
"Af be Memri shechleylit ar'a ....."
("Dengan Firman-Ku, Aku telah meletakkan dasar bumi .....").
Dengan demikian, teks Ibrani yang tertulis ידי ("tangan-Ku") dita'wil menjadi מימרי ("Firman-Ku") demi menghindari pemahaman tajsim. Artinya, term Ibrani יד (yad) dialihkan maknanya menjadi מימרא (Memra) dalam bahasa Aram. Sementara itu, Sefer Shemot 16:3 teks Ibraninya juga tertulis demikian:
ויאמרו אלהם בני ישראל מי יתן מותנו ביד יהוה בארץ מצרים
"Dan berkatalah bani Israel itu kepada mereka, "Tentulah kami semestinya telah mati oleh יד יהוה - yad ADONAI ("tangan TUHAN") di tanah Mesir ..." Namun, dalam Targum Yonathan teks tersebut tertulis:
ואמרו בני ישראל לוי דמיתנא קדם יי בארעא דמצרים
Wa amaru lehon b'nei Yisrael lewei de Mitna qadam ADONAI be ar'a de Mitzrayim ...."
("Dan bani Israel berkata kepada mereka: "Seandainya saja kami telah mati oleh דמיתנה קדם יי - de Mitnah qadam ADONAI ("Firman kekal TUHAN") di tanah Mesir ....").
Sefer Shemot 33:22 "........ dan Aku akan menutupkan telapak tangan-Ku ke atasmu sampai Aku telah lewat." Ternyata, dalam Targum Yonathan tertulis: "....... dan Aku menutupi engkau dengan מימרי - Memri (Firman-Ku) sampai Aku telah berlalu." Istilah "telapak tangan-Ku" dalam teks Torah berbahasa Ibrani tersebut dijelaskan dengan menggunakan pola ta'wil dalam bahasa Aram ketika berbicara mengenai כפי - kaffi ("telapak tangan-Ku"), dan nas tersebut dialihkan maknanya menjadi מימרי (Firman-Ku").
Sementara itu, Rabbi Saadia Gaon (882 - 942 M.) juga menggunakan pola ta'wil yang sama ketika mengutip nas Sefer Shemot 16:3 dan Sefer Shemot 33:2. Dalam Tafsirnya, Rabbi Saadia Gaon menjelaskan:
وقال لهم بنو يسراىل يا ليتنا متنا بامر الله في بلد مصر
(سفر شموت 16:3)
وظللت بسحابي عليك حتي يجوز اوله
(سفر شموت 33:2)
Istilah Arab سحابي dan امر الله merupakan istilah-istilah pengganti berdasar pada metode ta'wil yang digunakan oleh Rabbi Saadia Gaon dalam menjelaskan כפי ("telapak tangan-Ku") dan יד יהוה (tangan TUHAN) sebagaimana nas yang termaktub di dalam Torah berbahasa Ibrani. Menariknya, Rabbi Saadia Gaon tidak menggunakan istilah كفي (telapak tangan-Ku) atau pun istilah يد الله (tangan ALLAH) demi menghindari tajsim (antropomorfisme) dalam memahami kedua ayat tersebut. Inilah metode ta'wil yang dilakukan oleh Rabbi Saadia Gaon dalam menjelaskan ayat-ayat Torah agar terhindar dari bahaya pemahaman tajsim.
Rabbi Moshe ben Maymon (w. 1204 M.) penulis kitab Mishneh Torah, dikenal sebagai seorang rabbi era generasi Rishonim di kalangan komunitas agama Yahudi. Beliau juga yang mengkompilasi שלשה עשר עקרים (shloshah 'ashar 'eqrim), artinya: "Tiga Belas Kanon Iman" agama Yahudi, di antaranya disebutkan pasal iman yang menyebutkan bahwa TUHAN itu אינו גוף (eino guf), artinya: "Dia tidak ber-jisim." Teksnya berbunyi demikian:
אֲנִי מַאֲמִין בֶּאֱמוּנָה שְׁלֵמָה. שֶׁהַבּוֹרֵא יִתְבָּרַךְ שְׁמוֹ אֵינוֹ גוּף. וְלֹא יַשִּׂיגוּהוּ מַשִּׂיגֵי הַגּוּף. וְאֵין לוֹ שׁוּם דִּמְיוֹן כְּלָל:
Àni ma'amin bè'emunôh Shèlémôh, shêhaböré yithbôrakh shèmö einö guf, wè lö yashshighuhu mashshighéi ha-guf. Wè ein lö shùm dimyön kèlôl.
("Aku percaya dengan iman sepenuhnya bahwa Sang Pencipta - semoga diberkatilah nama-Nya , TUHAN bukanlah berbentuk jisim dan Dia bebas dari segala sesuatu yang bersifat materi, dan tidak ada sesuatu apapun yang dapat diserupakan dengan-Nya.")
Penjelasan Rabbi Moshe ben Maymon (w. 1204 M.) yang menyatakan bahwa TUHAN itu אינו גוף (eino guf), lit. "Dia tidak berwujud jisim" merupakan sebuah keyakinan kolektif dalam semua sekte agama Yahudi. Penjelasan Rabbi Moshe ben Maymon (w. 1204 M.) sebagai rabbi era generasi "Rishonim", hal ini merupakan penegasan aqidah salaf para rabbi pendahulunya, yang diteruskan dari para ulama salaf generasi awal, yakni generasi Tana'im. Kitab-kitab generasi salaf era Tana'im itulah yang kemudian disebut sebagai kitab-kitab "Targumim" yang semuanya ditulis dalam bahasa Aram.
Sementara itu, metode takwil memang telah dikenal pada era generasi Salaf dan terdokumentasi dalam kitab-kitab Tafsir. Dalam dunia Islam, pemahaman yang shahih mengenai teks suci memang senantiasa merujuk pada pemahaman tiga generasi utama, yakni generasi sahabat, generasi tabi'in dan generasi tabi' at-tabi'in. Inilah yang kemudian disebut sebagai generasi Salaf. Sementara itu, dalam kajian Yudaisme ternyata metode takwil juga telah eksis sejak abad ke-1 M. Dalam Yudaisme, metode takwil biasanya merujuk pada pemahaman para rabbi era generasi Tana'im sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab Targum, dan metode takwil ini telah diterima secara aklamasi dalam memahami Torah. Fakta ini sangat mirip sekali dalam dunia Islam, yang juga mengikuti pemahaman generasi Salaf.
Berkaitan dengan takwil "tangan TUHAN", generasi Salaf telah menyebutkan secara detail makna kata tersebut dalam konteks bahasa metaforis. Dalam Qs. Adz-Dzariyat 51:47 Allah berfirman:
والسماء بنيناها بأيد
Arti harfiah (dhahir) ayat tersebut sebenarnya sangat jelas, yakni "dan Kami bangun langit itu dengan tangan-tangan." Bagaimana generasi Salaf tersebut memahami ayat itu?
Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam kitab Tafsirnya berjudul "Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an" juz XI, hlm 472 telah meriwayatkan takwil ayat tersebut berasal dari Ibnu Abbas (w. 68 H./generasi sahabat), Mujahid (generasi tabi'in), Qatadah (generasi tabi'in), Manshur (generasi tabi'in), Ibnu Zaid (generasi tabi'in), dan Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H./generasi tabi'in).
Dalam pengutipan takwil ayat tersebut, Imam at-Thabari (w. 310 H) meriwayatkannya dengan sanad yang shahih. Jadi, berkaitan dengan takwil ayat tersebut, Imam at-Thabari telah menyandarkan sanad haditsnya merujuk kepada berbagai perawi handal. Lihat Ibnu Jarir at-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an juz XI (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2014), hlm. 472. Ternyata, sanad hadits dan takhrij hadits dari Imam at-Thabari berkaitan dengan takwil Qs. adz-Dzariyat 51:47 tersebut juga diakui validitasnya oleh ulama hadits sezamannya, yakni Imam Ibnu Abi Khatim al-Raziy (w. 327 H). Bahkan, Imam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) dalam kitabnya Majmu' al-Fatawa juga mengakui keunggulan dan kualitas sanad hadits Tafsir karya Imam Ibnu Jarir at-Thabari tersebut.
Pada pembahasan ayat tersebut, Imam at-Thabari (w. 310 H) menyitir sejumlah 6 hadits penting, dan hadits-hadits ini ternyata diakui validitasnya sebagai hadits mutawatir oleh para ulama ahli Tafsir dan ulama ahli Hadits dari kalangan generasi Salaf dan generasi Khalaf, dan hal itu diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka. Misalnya, Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), murid Ibnu Taymiyah (w. 728 H) juga mengakui kesahihan hadits-hadits kutipan Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) pada pembahasan takwil ayat tersebut, dan Ibnu Katsir mengatakan demikian:
(بايد) اي بقوة، قاله ابن عباس ومجاهد وقتادة والثوري وغير واحد
"(bi-aydin) yakni "bi-quwwah" - yang bermakna "dengan kekuatan", sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, (Sufyan) ats-Tsauri dan selainnya menyatakan hal yang sama." Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1997), hlm. 217. Berdasarkan pernyataan Ibnu Katsir yang menyebut nama-nama handal tersebut, yakni Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Sufyan ats-Tsauri etc., maka Imam Ibnu Katsir secara tegas mengakui status kemutawatiran hadits tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Tafsirnya.
Hal ini merupakan bukti adanya wacana pengakuan tentang validitas hadits mutawatir terkait ayat Qs. adz-Dzariyat 51:47 yang bersanad pada perawi-perawi handal itu ternyata telah bertahan selama 5 abad, atau tepatnya telah bertahan selama 464 tahun, yang dihitung sejak masa kehidupan Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) hingga masa kehidupan Imam Ibnu Katsir (w. 774 H). Bila Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) mengutip secara lengkap sanad hadits dari era generasi sahabat hingga era generasi beliau beserta kutipan matan haditsnya, maka Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) hanya menyebut sanad era generasi sahabat saja beserta kutipan matan haditsnya.
Sementara itu, Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) hanya mengutip matan haditsnya saja tanpa menyebut sanad haditsnya. Apakah hanya dengan mengutip matan haditsnya tanpa menyertakan sanad hadits justru membuktikan bahwa takwil ayat tersebut invalid alias tidak shahih? Tentu saja tidak. Justru hal ini semakin membuktikan adanya popularitas keabsahan sanad hadits dan matan hadits tersebut, sehingga ulama generasi abad ke-10 H., telah meringkasnya saja dalam kitab Tafsirnya.
Dengan demikian, takwil ayat Qs. adz-Dzariyat 51:47 justru mengindikasikan keakuratannya; dan ini telah bertahan selama 601 tahun, dihitung sejak masa kehidupan Imam at-Thabari (w. 310 H) hingga masa kehidupan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H). Imam as-Suyuthi menjelaskan dalam kitabnya Tafsir al-Jalalayn (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1997), hlm. 522.
(والسماء بنيناها باد) بقوة
Sementara itu, Imam Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) telah menyebutkan sanad hadits itu, dan para perawi telah mengartikan ayat tersebut sebagai berikut:
"Dan Kami membangun langit itu dengan kekuatan (Arab: "quwwah").
Bila Anda masih meragukan penjelasan saya, maka saya persilahkan Anda untuk mengkritisi sanad lengkap hadits-hadits tersebut dalam kitab Tafsir at-Thabari juz XI, halaman 472. Silakan juga Anda membandingkan sanad lengkap hadits-hadits tersebut dengan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, juz IV halaman 217. Berikut ini referensi kitab Tafsir at-Thabari juz XI halaman 471-472.
القول في تأويل قوله تعالى: {والسماء بنيناها بأيد وإنا لموسعون (47) والأرض فرشناها فنعم الماهدون (48) }
يقول تعالى ذكره: والسماء رفعناها سقفا بقوة.
وبنحو الذي قلنا في ذلك قال أهل التأويل.
* ذكر من قال ذلك:
حدثني علي، قال: ثنا أبو صالح، قال: ثني معاوية، عن علي، عن ابن عباس، قوله (والسماء بنيناها بأيد) يقول: بقوة.
حدثني محمد بن عمرو، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا عيسى; وحدثني الحارث، قال: ثنا الحسن، قال: ثنا ورقاء جميعا، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد، قوله (بأيد) قال: بقوة.
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قتادة (والسماء بنيناها بأيد) : أي بقوة.
حدثنا ابن المثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن منصور أنه قال في هذه الآية (والسماء بنيناها بأيد) قال: بقوة.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد، في قوله (والسماء بنيناها بأيد) قال: بقوة.
حدثنا ابن حميد، قال: ثنا مهران، عن سفيان (والسماء بنيناها بأيد) قال: بقوة.
Berdasarkan hadits-hadits yang valid (shahih) tersebut, yang berasal dari Ibnu Abbas (generasi sahabat), Mujahid (generasi tabi'in), Qatadah (generasi tabi'in), Manshur (generasi tabi'in), dan Sufyan ats-Tsauri (generasi tabi'in) justru membuktikan bahwa mereka ternyata telah melakukan takwil terhadap ayat Qs. adz-Dzariyat 51:47 terkait kata ايد (aydin), lit. "tangan-tangan" yang ditakwil menjadi قوة (quwwah), lit. "kekuatan."
Berdasarkan pada kajian linguistik khas Quran, istilah ايد (aydin), bukan berasal dari kata اد (āda) - ايدا (aydan), tetapi kata ايد (aydin) berasal dari kata يد (yad). Maksudnya, istilah ايد (aydin) lit. "tangan-tangan" ternyata merupakan bentuk jamak (plural) dari kata يد (yad), lit. "tangan", dan istilah يد (yad) itu sendiri adalah bentuk tunggal (singular) yang sering muncul dalam mufradat (kosa kata) khas Quran. Bentuk jamak ايد (aydin) ternyata juga terulang sebanyak 3 kali terkait penggunaannya dalam teks Quran, dan secara literal selalu bermakna "tangan-tangan", dan ini secara tekstual justru membuktikan adanya konsistensi bentuk (form) dan makna (meaning) terkait kata ايد (aydin) tersebut dalam teks Quran, misalnya:
الهم ارجل يمشون بها ام لهم ايد يبطشون بها ام لهم اعين يبصرون بها ام لهم اذان يسمعون بها (al-A'raf 7:195)
("Apakah berhala-berhala mempunyai kaki-kaki, yang dengan itu ia dapat berjalan, atau mempunyai tangan-tangan, yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras, atau mempunyai mata-mata, yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai telinga-telinga, yang dengan itu ia dapat mendengar?")
واذكر عبدنا داود ذا الايد (Shad 38:17)
("dan ingatlah hamba Kami Dawud yang memiliki tangan-tangan").
والسماء بنيناها بأيد (adz-Dzariyat 51:47)
("dan langit itu Kami telah membangunnya dengan tangan-tangan").