Selasa 05 Nov 2019 10:22 WIB

Masjid Rahmatullah, Saksi Kuasa Allah SWT Saat Tsunami Aceh

Masjid Rahmatullah kembali dibangun Pemerintah Turki.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Tsunami illustrated in the Tsunami Museum, Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.
Foto: Republika/Reiny Dwinanda
Tsunami illustrated in the Tsunami Museum, Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam.

REPUBLIKA.CO.ID, ACEH – Lantunan ayat-ayat Alquran yang dibaca anak-anak menggema dari pengeras suara Masjid Rahmatullah yang berada di dekat Pantai Lampuuk, Lhoknga, Aceh. Para santri dengan pakaian berwarna-warni itu duduk berderet membaca dan menghafal ayat-ayat Alquran di hadapan para ustaz. 

Beberapa di antaranya tengkurap sambil menulis kaligrafi di bukunya. Itulah kegiatan yang menjadi rutinitas harian setelah shalat Ashar di Masjid Rahmatullah, masjid yang pernah dilanda tsunami setinggi 30 meter pada 15 tahun lalu. Saat dunia memperingati Hari kesadaran tsunami sedunia setiap 5 November, Aceh berduka atas kematian sekitar 170 ribu orang.   

Baca Juga

Berdasarkan data Pemerintah Aceh, dari 6.000 orang yang tinggal di Lhoknga hanya sekitar 700 orang saja yang selamat dari bencana dahsyat itu. Ajaibnya, Masjid Rahmatullah yang berdiri 1997 masih berdiri kokoh meski diterjang tsunami, sementara bangunan dan pepohonan di dekat masjid ambruk. “Masjid ini seperti arti namanya, rahmat Allah,” kata imam Masjid Rahmatullah, Sulaiman Muhammad Amin (68 tahun) kepada Anadolu Agency seperti dilansir Hurriyet Daily News pada Selasa (5/11).  

Amin pun ingat jelas kejadian 26 Desember 2004 itu. Saat gempa berkekuatan 9,3 melanda wilayah itu. Kala itu banyak orang-orang sedang menggelar acara di dekat masjid. Gempa itu kemudian disusul dengan suara dentuman seperti bom. “Saya pikir itu bom oleh Gerakan Aceh Merdeka,” kata Amin. 

Amin mengatakan tsunami menghantam daerah itu tiga kali dalam interval pendek. Tsunami setinggi 30 meter meluluh lantakkan semua rumah, bangunan dan pohon. 

Amin mengatakan ombak tsunami sangat tinggi bahkan lebih tinggi dari kubah masjid. Amin sendiri adalah korban tsunami. Ia sempat tersapu dahsyatnya tsunami sejauh tiga kilometer. Amin mengenang, kala itu ia sudah menyerah. 

 

 

Namun Amin berhasil selamat setelah berpegangan pada sekarung pati sagu. Empat bulan setelah tsunami melanda, Amin mengunjungi Masjid Rahmatullah. Ia pun kagum melihat bangunan utama masjid tak runtuh meski berada 500 meter dari pantai. 

Masjid seluas 1.600 meter persegi itu hanya mengalami beberapa kerusakan kecil pada pilar-pilar dalam masjid. “Saya sangat senang bisa shalat lagi di  Masjid meskipun beberapa tiang runtuh,” katanya.

Saat ini tepatnya 15 tahun setelah bencana besar itu, Masjid Rahmatullah dengan kapasitas 4.000 jamaah masih berdiri kokoh. Amin mengatakan hal itu berkat  bantuan dari Turki melalui organisasi Bulan Sabit Merah yang membantu renovasi masjid pada 2006. 

Masjid Rahmatullah kini lebih indah dengan dibangunnya dua menara baru. Menara berdiri kokoh di sisi kiri dan kanan bangunan masjid. Sementara lambang bintang Turki dan simbol bulan sabit terpasang di depan bangunan.   

Selain merenovasi masjid, Pemerintah Turki juga membantu membangun sebanyak 700 rumah warga yang berada di sekitar masjid. Itu sebabnya  desa di Kecamatan Lhoknga dijuluki Desa Turki. “Allah membisikan Turki untuk membantu kita. Kalau kita tak menerima bantuan mereka kita tak akan punya rumah,” tutur Amin. 

Sebenarnya ada banyak negara yang menawarkan bantuan untuk membangun lagi Masjid Rahmatullah. Namun Turki dipilih karena desain dan konsep yang lebih disukai. “Desain (masjid) yang diusulkan Turki sangat indah, kami pikir itu yang benar,” katanya.  

Pada 26 Desember 2006, Wakil Perdana Menteri Turki kala itu, Mehmet Ali Sahin berkunjung ke Aceh untuk meresmikan sejumlah fasilitas yang dibangun Bulan Sabit Merah Turki yang berlangsung di halaman masjid Rahmatullah.  

Saat ini, Masjid Rahmatullah tak hanya sebagai tempat ibadah semata. Tetapi sudah menjadi salah satu destinasi wisata religi. Untuk mengenang tentang dahsyatnya tsunami 2004, manajemen Masjid mempertahankan bentuk asli sejumlah bangunan yang rusak di sisi kiri masjid. 

Dua pilar yang  runtuh juga dibiarkan tergeletak di tanah. Selain itu, pengurus masjid juga menyimpan sejumlah dinding yang runtuh, jendela-jendela yang terpisah, karpet dan sajadah yang tersisa setelah tsunami dan memamerkannya untuk umum. Pada sebuah tiang ada sebuah kalimat bertulis Jangan lupakan tsunami. 

Manajemen masjid Rahmatullah juga mendirikan sebuah galeri khusus dan memajang gambar-gambar masjid dan daerah sekitarnya yang berhasil terdokumentasi setelah dilanda tsunami. Beberapa foto dan arsip surat kabar juga dipajang untuk melestarikan kenangan tentang bencana  tsunami yang menghancurkan itu. 

Asisten galeri tsunami Masjid Rahmatullah, Nashrullah, mengatakan sekitar 200 orab dari bebrapa daerah di Indonesia dan negara lain seperti Malaysia, Australia, Turki, Timur Tengah, dan Afrika mengunjungi Masjid Rahmatullah dan galeri tsunami setiap harinya. “Wisatawan biasanya mengunjungi masjid untuk belajar tentang  sejarah tsunami Aceh,” kata Nashrullah. 

Berdasarkan data Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, bencana tsunami kala itu menewaskan lebih dari 220 ribu orang di 14 negara termasuk Thailand, India, Sri Lanka, Kenya, Yaman, dan Bangladesh. Aceh menjadi wilayah tertampak tsunami dengan korban terbanyak yakni dengan total 170 ribu jiwa. Andrian Saputra

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement