Selasa 05 Nov 2019 05:00 WIB

Kunci Sukses Diplomasi Rasulullah SAW

Salah satu dari kemampuan Rasulullah adalah dalam bidang diplomasi.

Rep: Rizky Suryandika/ Red: Agung Sasongko
Rasulullah
Foto: wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi adalah insan kamil. Sosok manusia sempurna yang harus menjadi figur idola tidak saja bagi umat Islam tapi juga bagi nonmuslim. Itulah salah satu relevansi firman Allah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS Al-Anbiya 21:107).

Istilah manusia sempurna artinya beliau memiliki perilaku dan kecakapan yang multidemensi di berbagai bidang baik sebagai pribadi maupun sebagai pemimpin. Salah satu dari kemampuan Rasulullah adalah dalam bidang diplomasi. Apa itu diplomasi?

Baca Juga

Diplomasi berasal dari bahasa Inggris diplomacy yang artinya seni atau praktik dalam hubungan internasional, seperti bernegosiasi antar aliansi, membuat perjanjian dan kesepakatan. Tapi istilah diplomasi memiliki dua makna yang agak berbeda. Yang pertama terkait dengan kemampuan atau kecakapan personal dalam berkomunikasi dengan individu yang lain.

Orang yang diplomatis akan mudah bergaul dengan siapa saja dan akan dipercaya orang untuk mengatasi suatu konflik antar individu. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki kecakapan diplomasi adalah figur pemersatu dan itulah yang terjadi pada Nabi sehingga pada zaman jahiliyah sebelum diangkatnya beliau sebagai Rasul, semua orang mencintai Nabi.

 

"Dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam disebutkan bagaimana Nabi dapat mengatasi konflik antar-suku di Makkah saat mereka berebut untuk meletakkan Hajar Aswad di salah satu sudut Ka’bah setelah selesainya renovasi Ka’bah,".

Konflik antara kepala suku Makkah tersebut sudah berjalan sekitar empat hari dan tiada satu pun yang mau mengalah. Juga, tiada satupun yang mampu memberikan solusi tepat saat dialog dan negosiasi mengalami jalan buntu.  Sehingga pertumpahan darah hampir terjadi. Ibnu Hisyam mengisahkan suku Quraish tinggal di seputar Ka’bah selama empat atau lima malam. Mereka berkumpul di masjid melakukan perundingan.

"Lalu tokoh paling sepuh suku Quraish bernama Abu Umayah bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Makhzum berkata: "Wahai kaum Quraish mintalah keputusan pada orang yang pertama masuk  pintu masjid ini.” Kaum yang sedang berselisih pun setuju,".

Ternyata yang masuk pertama adalah Rasulullah. Saat melihat Nabi, mereka serentak mengatakan: “Inilah Al-Amin (orang bijak & dapat dipercaya). Kami rela (apapun yang dia putuskan). Ini adalah Muhammad.” Setelah hal itu dikabarkan pada beliau, Nabi langsung bertindak.

“Beri saya kain.” Lalu Nabi meletakkan Hajar Aswad pada kain itu, dan berkata: “Setiap kabilah memegang sisi kain dan mengangkat bersama.” Saat sampai di tempatnya, Nabi meletakkannya dengan tangannya sendiri.

Sebelum turunnya wahyu, kaum Quraish biasa menyebut Nabi dengan panggilan kehormatan al-amin (yang dapat dipercaya). Kisah historis itu hanyalah sekeping fakta bahwa Rasulullah memiliki karakter diplomasi yang melekat pada dirinya sejak belia yang cenderung mencari solusi dari setiap masalah, bukan memperkeruhnya.

"Menjadi pemersatu dari setiap perselisihan, bukan malah memprovokasi dan memecah belah,".

Sumber : A.Fatih Syuhud (penulis buku-buku Islam)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement