Senin 21 Oct 2019 15:06 WIB

Catatan Pendiri NU Terhadap Konsep Wali di Dunia Tasawuf

Wali pada dasarnya tidak akan melanggar syariat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Berdoa Ilustrasi
Foto: Antara
Berdoa Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— KH R Syamsul Arifin tidak hanya dikenal sebagai sosok pendidik yang ulung. Saat mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Kiai Asad juga dikenal produktif menulis.

Tiga karya beliau antara lain kitab Risalah At-Tauhid, Risalah At-Thariqat, dan Hadzihi Risalah Bai’atu ad-Dzikri wa Silsilah al-Qadariyah wa An-Naqsyabandiyah. Ketiga kitab selanjutnya disebut penulis sebagai Risalah As’adiyah.  

Baca Juga

Seperti halnya pemikiran pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, Kiai As’ad juga sangat kritis menyikapi kehadiran praktik tarekat, khususnya praktik tarekat yang tidak sepenuhnya mengacu pada syariat Islam. Namun, Kiai As’ad juga tidak identik dengan pemikiran muslim modernis yang sepenuhnya melarang tradisi tarekat dan menudingnya sebagai bagian dari bid’ah.

Praktik tarekat yang tumbuh subur di Jawa harus tetap dipertahankan secagai bagian dari tradisi Islam. Namun, upaya mempertahankan tarekat hanya dapat dilakukan dengan tidak melanggar syariat.

Selain itu, Kiai As’ad juga mengkritik seseorang yang mengaku sebagai wali Allah. Menurut dia, seseorang yang senang disebut-sebut sebagai wali bukanlah seorang wali yang sebenarnya, karena orang tersebut hanya ingin terkenal saja. Karena itu, dalam kitab ini Kiai As’ad menceritakan kisah tentang orang-orang merasa bangga terhadap kewaliannya. 

Kritik tentang status wali ini juga pernah disampaikan KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya yang berjudul “al-Darurat al-Muntasyirah fil al-Masa’il al-Tis’a Asyarah”.  Menurut Kiai Hasyim, seseorang yang disebut wali tidak akan memamerkan diri, meskipun dipaksa membakar diri mereka.  

Siapapun yang berkeinginan menjadi figur yang terkenal, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai anggota kelompok sufi manapun. Di antara cobaan (fitnah) yang merusak seorang hamba pada umumnya ialah pengakuan guru tarekat dan pengakuan wali.  

“Barang siapa yang mengaku dirinya wali tapi tanpa kesaksian mengikuti Rasulullah, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT,” tulis Kiai Hasyim Asy’ari.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement