Apakah perusahaan besar akan dikenakan tarif yang sama ?
Debat ini terjadi beberapa kali sampai Sekretariat Wapres yang konsen tentang jaminan produk halal ikut menyumbangkan pendapat. Mereka mengundang pelaku usaha halal maupun kementerian dan instan si terkait, seperti Kemenkeu, Kemenko PMK, BPJPH, MUI, dan LPPOMMUI untuk bisa mencapai kata sepakat mengenai besaran biaya atau tarif.
Penetapan tarif memang krusial karena menyangkut kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda. Bagi perusahaan besar dan menengah barang kali tarif tidak menjadi masalah. Namun, tidak demikian bagi usaha kecil dan mikro. Dari 20-an juta usaha mikro dan kecil diestimasikan separuh lebih terkena kewajiban bersertifikat halal.
Meski PP dan PMA ini menoleransi adanya penahapan dalam pelaksanaan kewajiban bersertifikat halal, misalnya, produk makanan dan minuman diberi waktu antara 17 Oktober 2019 sampai 2024 (5 tahun).
Tenggat waktu ini tak serta-merta bisa dimanfaatkan dengan baik dan tepat waktu oleh pelaku usaha kecil dan mikro. Salah satunya ya soal biaya. Wonguntuk membia yai produksi saja sudah ngos-ngosan, kokmasih harus sertifikasi produk, begitu kira-kira argumennya.
Bagaimana menangani masalah tersebut terkait dengan sertifikasi UMKM?
Keluar dari kerumitan ini, PP sebenarnya memberi jalan keluar: Dalam hal pelaku usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi halal dapat difasilitasi oleh pihak lain: pemerintah pusat melalui APBN, pemda melalui APBD, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagama an, asosiasi, atau komunitas. (PP Pasal 62).
Ketika merumuskan secara operasional nomenklatur fasilitasi ini, tim RPMA bergelut dengan argumen bagaimana me kanisme fasilitasi itu diberlakukan untuk pengurusan sertifikasi halal. Apakah gratis atau membayar, berapa besarnya. Meliputi apa saja. Bagaimana mekanismenya. Kalau hendak melibatkan Kementerian Koperasi dan UKM atau Pemerintah Daerah, bagaimana peran mereka masing-masing.
Beberapa asosiasi usaha makanan dan minuman (mamin) mengusulkan agar peme rintah memberikan subsidi alias menggratiskan pengurusan sertifikat halal untuk usaha mikro dan kecil. Implikasi dari usulan ini serius. Pertama, kalau usulan ini dite rima, bagaimana perolehan pemasukan BPJPH sebagai PK-BLU yang harus mengurusi administrasi dan kebutuhan operasional lainnya?
Kedua, kalau sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro digratiskan, siapa yang menanggung biaya operasional LPH dalam memeriksa atau menguji produk, dan MUI yang melaksanakan sidang fatwa. Ketiga, makna fasilitasi yang diberikan pihakpihak di atas perlu pengaturan. Siapa yang menetapkan. Keempat, kalau subsidi diberlakukan, siapa yang berhak menerima. Berapa banyak pelaku usaha. Bagaimana pelak sana annya. Dan seterusnya. Artinya, penor maan dalam PMA mengatur pekerjaan yang dilakukan oleh lembaga lain. Dan, itu perlu koordinasi dan konsolidasi, MoU atau nota kesepahaman agar pelaksanaannya tak salah sasaran.