Senin 21 Oct 2019 17:00 WIB

Dakwah dan Perjuangan KH Abdullah Bin Nuh

Setelah pulang dari Mesir, Kiai Abdullah kemudian memulai dakwahnya dari Bogor

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Kota Bogor, ilustrasi
Kota Bogor, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setelah pulang dari Mesir, Kiai Abdullah kemudian memulai dakwahnya dari Cianjur dan Bogor. Selama di Bogor, beliau mengajar di Madrasah Islamiyyah yang didirikan oleh Mama Ajengan Raden Haji Mansyur dan juga mengajar para mu'alim.

Pada 1930, beliau kemudian mengajar para kiai di Bogor. Bersama Mama Ajengan Rd H Mansur, beliau juga mendirikan Madrasah Penolong Sekolah Agama (PSA) yang berfungsi sebagai wadah pemersatu madrasah-madrasah yang ada di sekitar Bogor.

Baca Juga

Selama hidupnya, Kiai Abdullah memiliki dua istri dan sebelas orang anak. Dia menikah dengan Istri pertamanya, Nyai Raden Mariyah pada 1925 dan dikaruniai lima orang anak. Pada 1949, beliau kemudian menikah lagi dengan Hj Mursyidah binti H Abdullah Suyuti dan dikaruniai enam orang anak.

Ketika membina rumah tangga dan mengajar di Bogor dan Cianjur, Kiai Ab dullah tidak pernah kekurangan dari segi ekonomi dan bisa hidup dengan damai. Namun, pada masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia (1942-1945), banyak para alim ulama ditangkap, dipenjara, dan disiksa.

Akhirnya, Kiai Abdullah pun ikut berjuang bersama para ulama laskar Hizbullah untuk merebut kemerdakaan dari tangan pen jajah. Beliau juga bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) dan ditunjuk sebagai Komandan Batalyon atau Daidancho untuk pasukan di Batalyon I Jam pang Kulon wilayah Karesidenan Bogor.

Semangat perjuangan Kiai Abdullah terus membara saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau menjadi pemimpin Hizbullah dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kota Cianjur sampai 1946. Perjuan gan terus berlanjut, dan pada 1948- 1950 Kiai Abdullah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di bawah pimpinan Mr. Kasman Singodimejo.

Tentara sekutu sempat mengejar Kiai Abdullah ke Cianjur dengan tujuan untuk membunuhnya. Namun,;ia berhasil terselamat kan dengan bantuan keluarga Al Habib Asad Syahab, dan ia diterbangkan dengan pesawat Hercules ke Yogyakarta.

Setelah tiba di Yogyakarta, Kiai Abdullah bersama tokoh-tokoh lainnya kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Selama tinggal di Yogayakarta, beliau tidak berjuang dengan jalan militer lagi, tapi berjuang dalam bidang pendidikan.

Salah satu yang menarik dari pemikiran Kiai Abdullah di bidang pendidikan adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 207, yang artinya: "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hambahamba- Nya".

Kiai Abdullah menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa kita adalah milik Allah dalam arti yang sebenarnya, harta benda hanya titipan semata, amanah lah yang harus dipertanggungjawabkan dari mana didapatnya dan untuk apa dibelanjakannya.

Dalam buku berjudul "10 Kuliah Agama Islam", Adian Husaini mengatakan, berdasarkan tafsir tersebut nampak sekali bagaimana ketinggian ilmu beliau, khususnya dalam bidang tauhid sebagaj awal dalam pengembangan pendidikan Islam. Itulah kenapa kemudian di akhir hayat beliau dihabiskan untuk berdakwah, mengajar, dan membina umat.

Sesudah menunaikan ibadah haji pada 1983, Kiai Abdullah sudah sering sakit, walaupun terkadang masih menyempatkan diri untuk menulis dan mengajar. Hingga akhirnya beliau wafat pada 26 Oktober 1987 di Rumah Al-Ghazaly, Jalan Cempaka nomor 6 Kotaparis Bogor, Jawa Barat. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement