Rabu 16 Oct 2019 04:41 WIB

Cermin Kontraksi Sosial: Kolor Ijo dan Cross-Hijaber

Dukun Santet, Kolor Ijo, Cross-Hijaber sebenarnya bukan hal baru

Cross-hijaber
Foto: facebook
Cross-hijaber

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Kabar geledek datang lagi soal kecenderungan Islamofobia. Tak ada angin dan tak ada hujan tiba muncul kegelisahan baru umat Islam atas fenomena 'cross-hijaber'. Soal ini telah membuat heboh kalangan masyarakat, khususnya di dunia maya. Remaja putri Muslim banyak yang resah.

Mengapa? Ini karena cross hijabers ini merupakan sosok pria yang berpenampilan menggunakan hijab. Bahkan, mereka juga kerap mengenakan cadar. Tidak hanya itu, dikabarkan ada pula yang tidak segan masuk dalam bagian masjid atau toilet untuk wanita.

Hal ini kemudian menuai berbagai kecaman, termasuk dari Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah, Dyah Puspitarini. Ia mengatakan, bahwa keberadaan cross hijabers tersebut sangat meresahkan masyarakat, terutama para perempuan. Apalagi, menurutnya, dengan adanya akun media sosial yang menjadi komunitas bagi mereka.

Tentu saja soal-soal ini membuat berkerut kening. Ada apa semua ini? Kalau itu muncul di media sosial, maka semua pihak masih teringat apa yang dilakukan Hilarry Clinton ketika hendak menghancurkan Libya dan Muamar Khadafi hanya dengan 'meniup' kicauan di medsos. Hasilnya tak hanya Libya yang berantakan --sebelumnya Tunisia-- kemudian meluluh lantakan kawasan Timur Tengah: Arab Spring. Tiba-tiba coretan iseng di dinding tembok di sebuah kawasan Suriah yang diunggah melalui medsos, membuat ribut, bahkan perang, di negara itu.

Namun, segala soal kontroversi, khususnya Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Setiap kali ada perhelatan kenegaraan penting selalu muncul hal yang serupa. Ini terjadi dari zaman dari Orde Lama, Orde Baru, hingga masa kini. Dahulu jelang geger 1965 ada berbagai macam geger dari hal perebutan tanah, pembakaran kebun tebu, munculnya dukun sakti 'Mbah Suro', di lereng Gunung Lawu, dan lainnya.

Dan ujung Orde Baru juga ada kisah yang sama dan sangat tragis, Hal itu adalah munculnya fenomena munculnya kasus pembunuhan dukun santet. Awalnya, dari Tasikmalaya tapi kemudian menjalar ke sekujur Jawa. Dan yang paling tragis adalah di kawasan ujung timur Pulau Jawa, Banyuwangi. Tiba-tiba muncul pemandangan horor. Banyak tubuh orang yang tak berkepala yang dituduh sebagai dukun santet di seret-seret di jalan raya dengan sepeda motor.  Pembantaian ini dikenal dengan 'operasi naga hijau.

Sebelum itu setiap kali jelang pemilu dan sidang umum MPR di masa pemerintahan Soeharto, di Jawa Tengah selalu muncul hal aneh-aneh. Kala itu hampir selalu muncul keresahan dengan isu hantu pocong yang meneror masyarakat pedesaan yang saat itu masih belum banyak yang berlistrik. Akibatnya, orang kampung berjaga-jaga di batas desa di setiap malam. Setiap ada orang asing masuk kampung dicurigai. Beberapa orang digrebeg ramai-ramai karena diduga selaku pelakunya. Uniknya, setiap kali ketangkap dan diperiksa pelakunya selalu sosok yang disebut orang gila.

Pada waktu bersamaan dengan bergulirnya masa reformasi, kala itu juga muncul hantu 'kolor ijo'. Entah bagaimana kala itu di seputaran Jakarta beredar desas desus adanya pria yang hanya mengenakan celana kolor berwarna ijo mencuri pakaian dalam dan merundung kaum perempuan. Tentu saja para wanita ketakutan. Anehnya, meski heboh dan sesuai sifat alami dari desas-desus, pelakunya tak tertangkap. Kasus kolor ijo menguap begitu saja seiring bergulirnya waktu.

Atas soal semua tersebut, pengamat terorisme UGM, Najib Azca, mengatakan fenomena unik yang selalu berulang itu menjadi cermin dari apa yang diistilahkan sebagai sitasui 'critical juncture'. Hal ini adalah cermin dari hadirnya sebuah masa atau periode yang penuh kontradiksi yang lebar.

Istilah gampang 'critical juncture' adalah adanya suatu keadaan layaknya perjalanan ketika sampai di persimpangan di mana harus mengambilan keputusan mendesak untuk memilih arah. Atau, hadirnya sebuah keadaan yang mencapai titik kritis dan harus memutuskan apakah akan dipilih atau putus.

''Jadi fenomena Cross Hijaber, dukun santet, kolor ijo, hantu pocong dan lainnya itu selalu terjadi situasi kritis terkait perubahan pilihan sekaligus pergantian situasi sosial politik, misalnya perubahan rezim. Tujuannya untuk mendeskriditkan salah satu pihak dan menaikkan citra pihak lain sebagai kelompok yang berjasa.'' ujarnya

Dengan kata lain, lanjut Najib, isu ini misalnya dapat dipakai untuk menyudutkan kelompok Islam dan juga dapat dipakai untuk memojokan mereka yang dalam kelompok agama lain, non agama, atau liberal.''Jadi bisa dipakai untuk apa saja. Inilah yang sekali lagi dapat kita sebut sebagai sebuah cermin dari suasana kontradiksi sosial,'' tegas Najib.

''Khusus atas kasus Cross Hijaber, semua pihak harus arif. Kita serahkan kepada pihak terkait untuk mencari tahu siapa pelaku dan motifnya. Yang penting semua paham  mengapa fenomena ini terjadi sehingga tidak terbawa emosi sesaat,'' katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement