Selasa 08 Oct 2019 17:26 WIB

Alasan Para Keturunan Rasulullah SAW Jauhi Keruwetan Politik

Para keturunan Rasulullah memilih menjauhi kekuasaan.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Kawasan Raudhah dan koridor di depan Makam Rasulullah SAW kian padat menyusul makin banyaknya jamaah haji yang tiba di Madinah, Selasa (24/7). Para jamaah berebut mengunjungi tempat yang disebut penuh berkah tersebut.
Foto: Republika/Fitriyan Zamzami
Kawasan Raudhah dan koridor di depan Makam Rasulullah SAW kian padat menyusul makin banyaknya jamaah haji yang tiba di Madinah, Selasa (24/7). Para jamaah berebut mengunjungi tempat yang disebut penuh berkah tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Meskipun secara sosial berkedudukan tinggi, kaum sayyid atau para keturunan Rasulullah SAW yang berasal dari Yaman, namun tidak punya kekuatan politik yang memadai. Mengapa demikian?

Mereka hanya dapat bertahan di sana menghindari rupa-rupa prahara, mulai dari konflik antardinasti kecil selama abad ke-13 hingga munculnya Kesultanan Kathiri pada abad ke-16 yang akhirnya dikuasai Inggris. Ketidakstabilan tersebut mendorong mereka atau Hadharim umumnya untuk merantau ke pesisir Afrika Timur dan Asia.

Baca Juga

Alasannya berkelana ke luar Hadhramaut tidak hanya lantaran kegentingan politik. Darah pelaut ulung memang mengalir dalam tubuh mereka. Sejak ratusan tahun silam, bangsa Arab akrab dengan jalur maritim yang menghubungkan Laut Tengah, Samudra Hindia, dan Laut Cina Selatan. 

Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara mengutip TW Arnold (1968) yang menyatakan, bangsa Arab telah menguasai perniagaan di Sri Lanka sejak abad kedua SM. Kaum cendekiawan Eropa pun mengakui mereka sebagai perintis globalisasi atau perdagangan dunia. Pengakuan itu antara lain disampaikan orientalis Austria abad ke-19, Aloys Sprenger, sebagaimana dikutip Benedikt Koehler dalam Early Islam and the Birth of Capitalism. 

 

Dengan demikian, jauh sebelum risalah Islam ada, bangsa Arab berperan penting dalam lalu lintas komersial Asia-Afrika-Eropa. Pada masa wafatnya Rasulullah SAW atau sekitar abad ketujuh, para pelaut Arab mendominasi distribusi rempah-rempah dari pusatnya di Maluku hingga bandar-bandar di Laut Tengah, utamanya Venesia (Italia). 

Menurut Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam, mereka tidak hanya membawa semangat berdagang dan berinteraksi dengan penduduk-penduduk lokal, tetapi juga memperkenalkan Islam. 

Bagi bangsa Arab, jalur rempah-rempah merupakan medium bisnis sekaligus pengembangan budaya dan agama. Hal itu cenderung berbeda dengan bangsa Eropa yang melihatnya pertama-atama dari segi komersial. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, menjelaskan para pebisnis Eropa terobsesi dengan komoditas tersebut lantaran selalu laku, meskipun harganya amat mahal. 

Di Venesia, misalnya, nilai barang tersebut bisa melonjak 1.000 persen daripada harga di tangan pertama. Tidak mengherankan bila muncul ungkapan semacam peperduur, yang dalam bahasa Belanda artinya ‘semahal lada.’ Masyarakat Eropa saat itu meyakini, siapa saja yang menguasai jalur rempah-rempah dunia akan dapat merajai pasar Eropa. 

Ketika Turki Utsmaniyah berkuasa dan membatasi akses maritim di Laut Tengah pada 1453, para pelaut Kristen Eropa terus memutar otak. Pada akhir abad ke-15, orang-orang Portugis mulai merintis jalan menuju India dan Maluku, sembari memanfaatkan pengetahuan navigasi kaum Muslim yang biasa mengarungi Samudra Hindia dan Atlantik. Tidak hanya uang, mereka juga membawa senjata bubuk mesiu. Zaman Penjelajahan (Age of Discovery) pun dimulai, yang pada akhirnya memunculkan kolonialisme Barat atas Timur.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement