Sabtu 21 Sep 2019 14:00 WIB

Belajar dari Umar

Kisah Umar mengingatkan umat Islam saat membebaskan Yerusalem.

Rep: Dialog Jumat Republika/ Red: Agung Sasongko
Suasana Kota Yerusalem.
Foto: Picryl
Suasana Kota Yerusalem.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perang menjadi salah satu bagian dari sejarah panjang manusia. Manusia sudah saling membunuh, bahkan sejak zaman Nabi Adam AS ketika putranya, Habil, dibunuh saudara kandungnya, Qabil. Dengan skala yang lebih masif, perang dengan berbagai motif terjadi hingga zaman modern ini.

Jutaan manusia menjadi korban peperangan. Mereka berperang demi agama, kekuasaan, harta, bahkan perempuan. Meski menyisakan cerita kejam, perang kerap menjadi sebuah fragmen sejarah perjalanan manusia.

Kita bisa mengenang bagaimana pasukan Muslimin merebut Baitul Maqdis pada abad ke-7 Masehi. Kisah pengepungan panjang di Aelia dalam ekspedisi pa sukan Amr bin Ash berakhir dengan perjanjian damai yang diprakarsai Umar bin Khattab sang amirul mukminin.

Haekal dalam bukunya, Umar bin Khattab, mengungkapkan, pada 637 M, Umar membuat perjanjian dengan utusan Uskup Agung di Yerussalem Severinus. Perjanjian damai yang dicatat sejarah tentang kebesaran jiwa kaum Muslimin. Di antara perjanjian tersebut, berikut kutipannya.

"Inilah jaminan yang telah diberikan oleh hamba Allah Umar Amirul Mukminin kepada pihak Aelia. Jaminan keselamatan untuk jiwa dan harta mereka. Untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka. Bagi yang sakit dan yang sehat dan bagi kelompok agama yang lain.

"Gereja-gereja mereka tidak boleh ditempati dan dirobohkan. Tak boleh ada yang dikurangi apa pun dari dalamnya atau yang berada dalam lingkungannya, baik salib atau harta benda apa pun milik mereka. Mereka tak boleh dipaksa dalam hal agama mereka atau mengganggu siapa pun dari mereka ...."

Utusan Severinus itu segera kembali dengan hasil perjanjian itu. Uskup Agung Severinus amat gembira. Perjanjian itu bahkan membolehkan siapa pun dari penduduk untuk meninggalkan kota dan pergi bersama orang-orang Romawi.

Sikap Umar berbeda jauh dengan Heraklius. Kaisar itu hendak memaksa penduduk kota untuk meninggalkan keyakinan ajaran mereka untuk mengikuti ajaran negara yang resmi. Heraklius bahkan mengancam mereka yang menolak akan dipotong hidung dan telinganya. Rumahnya bahkan harus dirobohkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement