Jumat 20 Sep 2019 05:03 WIB

Ormas Islam: RUU Pesantren Perlu Banyak Revisi

Belum Akomasi Perkembangan Pesantren, Ormas Islam fokus Kaji RUU Pesantren

Rep: umar mukhtar/ Red: Muhammad Subarkah
Pesantren Leler Banyumas, Jawa Tengah.
Foto: Muhammad Subarkah
Pesantren Leler Banyumas, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah ormas Islam mengadakan pertemuan di Jakarta pada 17 September lalu mengkaji Rancangan Undang-undang Pesantren. Delapan ormas Islam, satu badan, dan satu pondok pesantren, menghadiri pertemuan tersebut.

Ke-10 itu adalah PP Muhammadiyah, Aisyiyah, Al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Islam, Dewan Dakwah Islamiyah, Nahdlatul Wathan, Mathla'ul Anwar, Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia, dan Pondok Pesantren Darunnajah.

Ada beberapa hal terkait RUU Pesantren yang menjadi fokus kajian. Di antaranya, definisi pesantren, judul RUU tersebut, posisi RUU Pesantren dari sistem pendidikan nasional, naskah akademik RUU tersebut, dan ruang lingkup RUU Pesantren yang belum mengakomodir perkembangan pesantren.

Dalam pertemuan, ada pendapat bahwa nomenklatur dan substansi yang diatur dalam RUU Pesantren tidak mencerminkan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pesantren saat ini sesuai tuntutan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain itu, jika RUU Pesantren disahkan menjadi UU, maka berpotensi memunculkan tuntutan peraturan perundang-undangan yang sejenis dari pemeluk agama selain Islam. Bila tidak dipenuhi, dapat menimbulkan perpecahan dalam kehidupan masyarakat.

Ketentuan dalam RUU Pesantren juga hanya mengakomodir dan mengatur pesantren yang berbasis kitab kuning atau dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin. Sehingga, belum mengakomodir keberagaman pesantren sesuai tuntutan pertumbuhan dan perkembangan pesantren.

Berdasarkan hasil kajian, RUU Pesantren dinilai tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, lebih tepat bila materi yang termuat di dalam RUU Pesantren dimasukkan ke UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan merevisi UU tersebut.

Definisi pesantren juga dinilai perlu ada penambahan. Sebagaimana diketahui, definisi pendidikan pesantren dalam RUU Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasan pesantren dengan berbasis pada kitab kuning, dirasah islamiyah dengan pola pendidikan muallimin.

Definisi tersebut perlu dilengkapi dengan klausa "atau pola lainnya yaitu pesantren yang mengembangkan kurikulum berbasis dirasah islamiyah yang terintegrasi dengan pendidikan umum (sekolah atau madrasah).

Pertemuan yang dihadiri ormas dan lembaga pendidikan Islam itu menghasilkan kesepakatan. Mereka membuat surat permohonan penundaan pengesahan RUU Pesantren tertanggal 17 September, kepada Ketua DPR RI. Surat permohonan itu ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti.

Pengurus Wilayah Nadhlatul Wathan DKI Jakarta, Muslihan Habib, salah satu yang menghadiri pertemuan tersebut. Dia menegaskan, kehadirannya tidak dalam posisi menolak RUU Pesantren. Hanya saja, ia mengakui, substansi dalam RUU Pesantren memang banyak yang perlu direvisi. "Supaya bisa mengakomodir semua pihak," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (19/9).

Muslihan menjelaskan, kehadirannya membahas RUU Pesantren atas undangan PP Muhammadiyah. "Kemarin diundang oleh PP Muhammadiyah untuk urun rembug yang pertama kalinya. Karena diundang dan melihatnya penting, saya hadir sebagai PW NW (Nahdlatul Wathan) DKI," ucapnya.

Selain Muslihan, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Al-Manshur Darunnajah Cabang 3 Banten, Busthomi Ibrohim, juga ikut pertemuan atas undangan PP Muhammadiyah. Dihubungi terpisah, Busthomi mendukung pengesahan RUU Pesantren. Menurut dia, RUU tersebut telah mengakomodir pondok pesantrennya, dan bentuk pengakuan pemerintah terhadap keberadaan pesantren.

"Sebetulnya mendukung, enggak ada usaha untuk menghalangi. Sebagaimana pondok yang lain, sebagaimana pondok yang menggunakan sistem mu'allimin. RUU itu sangat menguntungkan pondok (pesantren)" imbuhnya.

Bagi Busthomi, kehadiran dirinya bukan berarti sependapat dengan beberapa ormas lain yang hadir. Dia menyadari, diskusi saat itu lebih banyak membicarakan persoalan definisi pesantren. Sebagian, lanjutnya, menginginkan agar definisi pesantren dalam RUU Pesantren diperjelas lagi secara eksplisit untuk mengakomodir seluruh macam pondok pesantren.

"Kalau ada satu-dua kata yang belum pas, itu manusiawi. Misalnya mengapa menggunakan kalimat kitab kuning, ini debatable sejak dulu," tuturnya.

Menurutnya, tiga kata yang tercantum dalam definisi pesantren pada RUU Pesantren, secara implisit telah mewadahi berbagai bentuk pondok pesantren. Tiga kata yang dimaksud, yaitu kitab kuning, mu'allimin dan dirasat islamiyah.

"Teman-teman di NU (Nahdlatul Ulama), pondok pesantrennya dengan kitab kuning, teman-teman seperti Gontor itu juga mu'allimin, Muhammadiyah juga mu'allimin. Teman-teman yang tidak mu'allimin dan tidak kitab kuning, semacam pondok tahfidz, masuk ke dalam dirasat islamiyah, kan juga kajian keislaman," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement