Selasa 26 Apr 2022 05:09 WIB

Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah

Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah

Petugas memperlihatkan Alquran dari DKI Jakarta di Perpustakaan Jakarta Islamic Center, Jakarta, Kamis (15/11). Perpustakaan Jakarta Islamic Center memiliki beragam koleksi Alquran dan tafsirnya yang berasal dari beberapa negara islam hingga dalam negeri untuk mencari referensi keilmuan peradaban Islam.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Petugas memperlihatkan Alquran dari DKI Jakarta di Perpustakaan Jakarta Islamic Center, Jakarta, Kamis (15/11). Perpustakaan Jakarta Islamic Center memiliki beragam koleksi Alquran dan tafsirnya yang berasal dari beberapa negara islam hingga dalam negeri untuk mencari referensi keilmuan peradaban Islam.

Oleh: Ali Yusuf, Jurnalis Republika

JAKARTA — Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah menjadi pemacu semangat untuk mempelajari tafsir Alquran. Struktur penulisan di Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah tulisan Prof Muhammad Amin Suma ini mudah dipahami terutama bagi pembaca Ajam, atau pembaca bukan orang Arab yang masih awam terhadap dasar-dasar ilmu Alquran seperti Nawhu Shorof, kosa kata (mufrodat) dan gaya bahasa Alquran (uslub) sebagai perangkat dasar untuk mempelajari ilmu ini.

Melalui gaya bahasa sederhana, penjelasan yang baik tentang ghoribul Alquran atau kata-kata yang langka dalam Alquran, membuat buku setebal 151 halaman ini memudahkan pembaca mengerti tentang surah Alquran yang ditafsir Prof Amin Suma. Untuk menafsirkan Surah Alfatihah dan memudahkan pembaca memahaminya, Prof Amin Suma membagi tulisannya kedalam lima bagian. Bagian pertama Pendahuluan, bagian kedua Pedoman Dasar dan Umum Transliterasi, Penerjemahan, dan Penafsiran Alqurab, bagian ketiga Tafsir Lafzh Al-Jalalah (Lafal Keagungan/Kebesaran Allah), bagian keempat Kalimat Al-Istiadzah dan bagian terakhir menguraikan tentang surah al-Fatihah yang ditafsirkan.

Prof Amin Suma menyampaikan, Alquran tidak akan pernah habis digali oleh berapa pun banyak orang yang melakukan penerjemahan apalagi penafsiran terhadap Alquran. Menurutnya, semakin banyak penggalian terhadap Alquran, semakin terasa sedikit kita tahu tentangnya dan semakin sedikit kita menggeluti Alquran maka akan semakin menipis pula semangat untuk menggali isi kandungan Alquran dan apalagi untuk mengembangkan pemahamannya .

“Inilah yang merangsang saya terus-menerus melakukan penggalian, pemahaman, perenungan, dan penulisan terhadap khazanah keilmuan yang ada di dalam Alquran sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu kita,” kata Prof Amin Suma dalam pendahuluannya hlm 6.

Buku atau kitab Tafsir Al-Amin Bedah Surah Al-Fatihah ini ditulis untuk mengiringi Alquran yang selalu eksis sepanjang zaman di semua tempat dan keadaan, maka tafsir Alquran harus selalu setia menyertainya untuk setiap generasi dan semua kondisi dengan peluang dan tantangannya masing-masing. Secara tekstual wahyu Alquran bahkan juga hadits memang sudah berakhir begitu Nabi Muhammad SAW wafat. Namun secara faktual kontekstual, penafsiran Alquran dipastikan boleh dan bahkan terus harus terus dikaji sepanjang zaman di semua keadaan.

“Terutama ketika dihadapkan pada berbagai persoalan yang mengalir deras tanpa henti yang tengah melanda semua negara dengan segala permasalahannya masing-masing termasuk di Indonesia,” katanya.

Saat ini kata dia, minimal sebagian umat Islam seakan-akan terkesima menyaksikan gelombang kehidupan nyata sungguh dahsyat dan luar biasa membingungkan logika, apalagi jika alat ukur yang digunakan untuk menilai adalah nilai-nilai universal dan kaidah-kaidah agama yang bersifat baku standar dan Abadi. Maka Alquran dalam konteks ini menjadi pegangan untuk semua orang, semua urusan, semua ilmu, semua tempat, semua keadaan, dan semua zaman yang tidak terbatas apalagi dibatasi.

Mengawali penjelasan BAB 2 tentang Pedoman Dasar dan Umum Transliterasi, Penerjemahan, dan Penafsiran Alquran, Prof Amin memastikan tidak perdebatan di kalangan umat muslim terutama para ulamanya wa-bil-khushush ahli ilmu-ilmu Alquran, bahwa Alquran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam melalui perantara malaikat jibril AS dalam bentuk lafal Arab.  Mengingat Alquran adalah wahyu (kalam)  Allah SWT, maka dapat dipastikan bahwa Alquran bukanlah omong manusia apapun profesi dan status sosialnya, bukan puisi para penyair (wa-ma huwa bi qauli al-syai’r), bukan mantra-mantra para dukun (kahin), bukan bisikan setan yang terkutuk (wa-ma huwa bi-qauli syauithanir-rajim) dan bukan pula karangan Nabi Muhammad SAW. 

Oleh karena itu, untuk mengenali, memahami, dan juga mensosialisasikan Alquran kepada masyarakat luas sudah tentu memiliki perangkat ilmu dan tata cara (metode) tersendiri untuk melakukannya. Termasuk tentang teknik penulisan, transliterasi, penyalinan, terjemahan, penafsiran, dan istinbath al-ahkam.

Transliterasi adalah penyalinan suatu bahasa dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, dalam tulisan ini penggantian abjad Arab ke abjad Latin-Indonesia. Dengan kalimat lain transliterasi adalah penyalinan dengan huruf lain (naskah yang ditulis dengan huruf Batak Toba misalnya disalin dengan menggunakan huruf latin). Transliterasi bisa juga diartikan dengan alih bahasa dari bahasa yang satu kepada bahasa yang lain (naql al-qalam min lughatin Ila lughatin ukhra), terjemaah, penerjemaah, (al-tarjamaah) atau tepatnya terjemaah yang bersifat bunyi (al-tarjamaah al shautiyyah).

Transliterasi Alquran ke dalam bahasa non-Arab sejatinya bukanlah teks Alquran, mengingat transliterasi Alquran dalam kenyataannya masih belum bisa menyamai teks-teks asli Arab yang dialihbahasakan. Meskipun beberapa bentuk dan transliterasi Alquran telah dibuat oleh sejumlah orang, lembaga, atau bahkan negara. Namun hingga saat ini tetap saja dirasakan masih ada perbedaan-perbedaan mendasar antara teks Arab Alquran yang bahasa Arab dengan transliterasinya ke dalam bahasa Arab.

Meski sebagian ulama seperti Ibnu Taimiyah, al Syathibi, dan K.H Sirajuddin Abbas salah seorang ulama Indonesia pernah menyatakan keberatan dan sebagian ada yang menfatwakan haram melakukan transliterasi Alquran kedalam bahasa non Arab. Karena mustahil bisa memenuhi standar minimal apalagi mengungguli bahasa Alquran yang sarat dengan mukjizat. Begitu pula dengan terjemahan yang menggunakan terjemahan harfiah yang juga diyakini tidak akan bisa menjelaskan maksud dari ayat-ayat Alquran yang transliterasikan dan terjemahkan.

Namun, demi kemaslahatan yang jauh lebih besar terutama demi tersosialisasikannya Alquran kepada segenap ummatan muslimatan secara keseluruhan, tetap memerlukan dan menjalankan tugas-tugas transliterasi Alquran ke dalam bahasa non Arab.  Demikian pula dengan kegiatan penerjemahan dan terutama penafsirannya ke dalam bahasa bahasa non Arab, termasuk ke dalam bahasa Indonesia di samping tetap melahirkan dan menghadirkan kitab-kitab tafsir Alquan yang berbahasa Arab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement