Oleh: DR Menachem Ali, Dosen Filologi Universitas Airlangga
Berkaitan dengan kitab tafsir dalam tradisi Islam, memang ada dua jenis kitab tentang tafsir. Pertama, kitab yang berisi kumpulan riwayat-riwayat penafsiran yang disandarkan kepada seorang tokoh. Misalnya, kitab tafsir Ibnu Abbas yang berjudul Tanwir Al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas (تفسير المقباس من تفسير ابن عباس).
Kitab ini berisi kumpulan riwayat-riwayat tafsir yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas bukanlah penulis kitab tersebut, tetapi orang lain yang bernama al-Fairuzabadi yang mengkompilasi atau yang mengumpulkan riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dari beberapa kitab untuk kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab.
Kedua, kitab yang berisi penafsiran seorang tokoh. Dalam hal ini misalnya, Tafsir ath-Thabari, kitab ini ditulis oleh Imam ath-Thabari sendiri. Tafsir Al-Jalalayn, kitab ini ditulis oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahally. Begitu juga kitab Tafsir Ibnu Abi Hatim al-Razy, ditulis oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim al-Razy, dan kitab tafsir ini ternyata sezaman dengan kitab Tafsir ath-Thabari.
Tafsir Muqatil bin Sulaiman ini memang ditulis oleh Muqatil sendiri. Isinya bukan kumpulan riwayat-riwayat tafsir Muqatil yang dikumpulkan oleh orang lain. Kitab tafsir Muqatil bin Sulaiman yang disebut oleh Bambang Noersena dan kemudian diklaim sebagai kitab tafsir yang tertua, maka hal ini perlu dikritisi.
Tafsir Muqatil bin Sulaiman memang menyebut nama Ishaq yang akan dijadikan qurban. Namun, apakah kitab tafsir Muqatil bin Sulaiman merupakan kitab tafsir yang tertua? Apakah kitab-kitab tafsir era sezaman dengan Muqatil bin Sulaiman tidak ada satu pun yang menyebut nama Ishmael?
Ini merupakan dua hal yang berbeda. Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H./ 767 M) yang diklaim sebagai ahli tafsir paling awal yang karya utuh kitab tafsirnya masih ada hingga kini, memang secara tegas menyebut Ishaq sebagai "dzabih", anak yang disembelih oleh Abraham. Namun pada zamannya, Muqatil bin Sulaiman ternyata dikenal sebagai sosok yang diragukan kredibilatasnya oleh banyak pihak, terutama oleh para ulama ahli tafsir dan para ulama ahlul Hadis.
Ulama Ahlul Hadits khususnya, semuanya mengatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman itu dianggap tidak tsiqah, dan celaan berupa "jarh" senantiasa dialamatkan kepadanya, misalnya Imam Asy'ari menyatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman itu seorang mujassimah.
Bahkan, Imam adz-Dzahabi men-jarh Muqatil bin Sulaiman karena dia banyak menukil riwayat-riwayat Israiliyat dari kaum Ahlul Kitab ketika menafsirkan ayat Quran, yang narasinya tak sepenuhnya bisa diverifikasi validitas datanya, meskipun menurutnya dianggap sesuai dengan kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Saya belum menemukan sebuah pernyataan dari para ulama Ahlul Hadits yang men-ta'dil Muqatil bin Sulaiman, tetapi semuanya justru men-jarh Muqatil bin Sulaiman.
Fakta historis justru berbicara lain, mufasir generasi awal, Ibnu Juraij misalnya, ternyata menyebut Ishmael (Ismail) sebagai "dzabih", anak yang dijadikan qurban oleh Abraham. Tafsir Ibn Juraij justru statusnya lebih otoritarif jika dibandingkan dengan kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman (w. 150 H./767 M).
Menurut catatan Imam Al-Bukhari dalam karyanya kitab Tarikh al-Awsath, Ibnu Juraij wafat pada tahun 150 H (767 M), dan kredibiltas Ibnu Juraij sangat diakui ke-ta'dil-annya di kalangan ulama Ahlul Hadits di zamannya, hingga zaman Imam Al-Bukhari. Para ulama Ahlul Hadits ternyata berbeda pandangan mengenai kredibilitas keduanya.
Meskipun demikian, Muqatil bin Sulaiman dan Ibnu Juraij keduanya hidup di zaman yang sama. Kini, kompilator riwayat tafsir Ibn Juraij adalah Ali Hasan Abd al-Ghaniy, diterbitkan tahun 1992. Menariknya, Tafsir Ibn Juraij ini justru menyebut nama Ishmael sebagai sang putera yang akan dijadikan qurban oleh Abraham.
Sejak terbitnya Tafsir Ibnu Juraij yang diterima melalui jalur Hasan bin Muhammad al-Za'farani dari Hajjaj al-Mishshishi, maka klaim otoritas kekunoan kitab Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman justru invalid dan dipertanyakan keabsahannya.
Bila pada era Muqatil bin Sulaiman dan Ibnu Juraij ternyata ditemukan keragaman pendapat mengenai nama sang putera yang di-qurban-kan oleh Abraham, maka klaim Bambang Noersena tentang adanya wacana tunggal yang hanya merujuk pada nama Ishaq yang muncul pada era awal, maka klaim tersebut menjadi batal.
Kini, kitab Tafsir Ibn Juraij juga sudah ditahqiq oleh Dr 'Abdurrahman bin Hasan Qa'id, cetakan Dar al-Kamal al-Muttahidah. Oleh karena itu, buku ini sekaligus merupakan bantahan akurat terkait wacana tunggal yang dipaksakan, yakni menggiring opini hanya merujuk pada nama Ishaq saja.
Begitu juga klaim Bambang Noersena berkaitan dengan kekunoan kitab Tafsir ath-Thabari yang dalam kitab tafsir ini disebutkan validitas nama Ishaq sebagai putera yang dijadikan qurban. Menurut Bambang Noersena, kitab tafsir yang berjudul جامع البيان في تاويل القران (Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an) karya Imam Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari adalah kitab tafsir tertua. Klaim ini sebenarnya sangat tidak benar.
Klaim kekunoan kitab tafsir karya Imam ath-Thabari (224-310 H) ini justru terbantahkan dengan keberadaan kitab tafsir yang lain, yakni kitab تفسير كتاب الله العزيز (Tafsir Kitabillah al-'Aziz) karya Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-'Ibadi (200 - 280 H). Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir lengkap pertama dan tertua, dan tokoh mufassir ini hidup sezaman dengan Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (224 - 310 H).
Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-'Ibadi umurnya lebih tua 24 tahun dibanding al-Imam Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, dan Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-'Ibadi wafat pada tahun 280 H., sedangkan al-Imam Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari wafat pada tahun 310 H. Ini merupakan fakta bahwa Al-Imam Hud bin Muhakkam al-Huwwari al-'Ibadi paling lambat telah merampungkan penulisan karya kitab tafsirnya sekitar 30 tahun sebelum wafatnya Imam ath-Thabari.