Jumat 09 Aug 2019 18:39 WIB

Rasulullah Pun Menangis

Semoga kita mengambil hikmah dari tangisan Rasulullah SAW

Rasulullah
Foto: Wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Toto Tasmara     

Tangisan bagi seorang Muslim adalah ekspresi rasa harap dan cemas. Tangis demikian sebagaimana diungkapkan ketika seorang Muslim yang beriman teguh berdoa dan berzikir, memohon perlindungan dan ampunan Allah SWT. Kita saksikan, misalnya, tetesan air mata orang-orang saleh pada waktu shalat.

Baca Juga

Inilah relevansinya saat menjelang puncak haji. Kita saksikan, air mata yang membasahi muka jamaah haji di Padang Arafah. Memang, menangis adalah bagian dari akhlak yang baik. Dalam Alquran, Allah berfirman, yang artinya, “Dan mereka tundukkan dagu dan mukanya seraya menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS [17]: 109, [19]: 58).

 

Rasulullah Pun Menangis...

Ubaid bin Umar dan ‘Atha’ pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu anha (RA).

”Ceritakanlah kepada kami hal yang paling menakjubkanmu yang engkau lihat dari Rasulullah SAW.”

Kemudian, sambil terisak, Aisyah menjawab, “Kana kullu amrihi ‘ajaba." (Sungguh semua ihwal Rasululullah SAW sangat menakjubkan.)

Aisyah melanjutkan, “Pada suatu malam, beliau datang kepadaku sehingga kulit kami saling bersentuhan. Beliau lalu berbisik, 'Ya Khumaira (panggilan sayang Rasulullah untuk Aisyah, artinya, 'wahai yang berpipi kemerah-merahan'), izinkanlah aku beribadah kepada Tuhanku.'

Maka, beliau meninggalkanku dan mengambil bejana air untuk berwudhu. Tidak lama setelah beliau takbir, aku mendengar suara beliau terisak-isak. Terasa dadanya bagaikan terguncang.

Rasulullah terus-menerus menangis, sehingga air matanya membasahi janggut dan bertetesan ke tanah. Rasulullah larut dalam tangisan sampai berkumandangnya azan Subuh.

Bilal kemudian memberi tahu, waktu shalat Subuh telah masuk. Bilal menyaksikan keadaan Nabi SAW yang masih terisak.

Kemudian, dia (Bilal) berkata, 'Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis? Padahal, dosa-dosamu telah diampuni Allah. Engkau adalah kekasih Allah yang paling utama?'

Rasul SAW menjawab, 'Sungguh besar kasih sayang-Nya, tetapi betapa aku belum menjadi hamba yang bersyukur.'"

Abdullah bin as-Syikhir berkata, “Saya datang kepada Rasulullah SAW, sedangkan beliau sedang shalat. Maka terdengarlah isak tangis beliau yang bergemuruh di dalam dadanya, bagaikan suara air mendidih dalam bejana" (Diriwayatkan oleh Dawud dan Turmudzi).

Dari hadis-hadis di atas, semoga kita mengambil hikmah. Betapa Nabi Muhammad SAW masih menangis dan merasakan belum menjadi hamba yang bersyukur.

Padahal, jelas beliau adalah hamba yang ma’shum, yakni terjaga dan bersih dari dosa.

Selain itu, Allah SWT juga memuliakannya melebihi siapapun makhluk ciptaan-Nya. Rasulullah adalah al-Musthafa (manusia pilihan) yang pertama kali memasuki surga sebelum yang lain memasukinya.

Lantas, bagaimana dengan kita?

Apakah kita telah dijamin masuk surga? Apakah keislaman kita diterima oleh Allah SWT?

Adakah kita masih tetap tertawa dan tidak menangis menghadapi akhirat yang setia menunggu untuk kita datangi?

Bilakah kita tetap tertawa menikmati dunia yang tidak pernah setia menemani ketika kita pergi, menghembuskan nafas terakhir? Apakah kita masih tetap tertawa dan lalai pada perjalanan akhir, sedangkan dunia itu bakal lenyap dan tenggelam ditelan waktu?

Kenikmatan di dunia ini hanya sesaat dan pasti akan sirna.

Mengapa air mata kita enggan menetes? Apakah hati kita telah beku? Ke manakah nurani kita? Apakah kita sudah bersyukur dengan yang telah kita raih atau sebaliknya kita makin kufur?

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement