Senin 12 Aug 2019 23:23 WIB

Masjid al-Mansur Akulturasi Ragam Budaya

Satu lagi keunikan Masjid Al-Mansur terlihat pada bentuk menaranya.

Sejumlah umat Muslim melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Jami Al Mansur, Tambora, Jakarta Barat, Senin (18/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah umat Muslim melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Jami Al Mansur, Tambora, Jakarta Barat, Senin (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arsitektur Masjid Al-Mansur ini merupakan bentuk akulturasi budaya Jawa, Betawi, Cina, dan Arab. Keempat budaya tersebut sangat kental karena sebagian besar penduduk di Tambora saat itu adalah para pedagang dari negeri-negeri lain.

Seperti yang terlihat di atap masjid yang terdapat cungkup ala Jawa serta model semi joglo. Sedangkan, kekhasan Betawi terlihat pada teralis dan pagar kayu yang mengelilingi masjid.

Baca Juga

Sentuhan Cina pun tampak pada dua pintu masuk masjid dengan model berdaun dua serta menara tanpa kubah. Begitu pula, dengan tiga jam kuno yang masih berfungsi dengan baik di dekat tempat shalat pria. Di tempat yang sama, terdapat sebuah tangga yang tersandar di dekat empat tiang utama. Dari keterangan Ery, tangga tersebut terhubung dengan sebuah ruangan di plafon masjid.

''Biasanya ruangan tersebut digunakan para alim ulama tempo dulu untuk beriktikaf ataupun mencari ilham sebelum memutuskan suatu perkara umat,'' terang Ery. Sayangnya, karena sudah berumur, kayu-kayu yang menjadi tangga itu mulai melapuk. Karenanya, tangga maupun tempat iktikaf tersebut tak digunakan lagi.

Tempat yang dituturkan Ery tersebut dikenal sebagai semacam mezanin yang memanfaatkan ruang di bawah atap tumpukan. Mezanin yang bisa dicapai dari anak tangga di sebelah timur salah satu kolom saka guru ini konon dulunya dipakai untuk mengumandangkan azan, iktikaf, dan tempat pertemuan-pertemuan penting.

Satu lagi keunikan Masjid Al-Mansur terlihat pada bentuk menaranya. Di bagian atasnya tampak kubah seperti topi baja kompeni, dan berjendela di sepanjang batang menaranya. Di dalamnya, terdapat sebuah tangga yang tingginya sekitar lima meter yang terbuat dari kayu pohon kelapa.

Menurut Ery, menara tersebut jarang dimasuki karena khawatir akan roboh bila dipijak. Jika terdapat tangga yang mulai longgar, pengurus hanya memaku dengan paku seadanya. Bahkan selama ini, untuk perawatannya pihak pengurus masjid melakukan swadaya untuk mengumpulkan dana.

Sementara itu, untuk menjaga kelestarian tempat suci dan makam-makam para ulama yang terletak tepat di depan kiblat, di sekelilingnya dibuat pagar besi.

Pemugaran

Pada medio tahun 1960-an, keberadaan masjid ini kembali dipugar untuk kedua kalinya. Hasilnya seperti yang terlihat sekarang. Merapat dengan jalan di selatan, di bagian utara dan timur berdempetan dengan permukiman. Setelah itu, tembok, jendela, dan pintu di semua sisinya dimajukan sejauh 10 meter.

Pada 1947, masjid ini pernah ditembaki pasukan NICA. Pasalnya, KH Muhammad Mansur, pimpinan masjid saat itu, memasang merah putih di puncak menaranya. Kiai Mansyur kemudian ditangkap Belanda. Setelah ia wafat pada 12 Mei 1967, masjid ini pun dinamakan Masjid Al-Mansur. Sekaligus menjadi jalan utama di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement