Kamis 01 Aug 2019 11:06 WIB

Ekspresi Cinta Tanah Air Rasulullah SAW

Rasulullah SAW mencintai tanah airnya

Kota Makkah, Arab Saudi (ilustrasi)
Foto: ROL/Sadly Rachman
Kota Makkah, Arab Saudi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah pada Tahun Gajah atau sekitar 570 Masehi. Sejak didirikan anak keturunan Nabi Ibrahim AS, Makkah menjadi sentra peradaban. Di sinilah terletak Ka’bah yang mulia, pusat spiritual para pengikut ajaran tauhid.

Sejak masih belia, Nabi Muhammad SAW bangga akan Tanah Airnya itu. Sesudah diangkat menjadi rasul, beliau berupaya mengajak para penduduk Makkah untuk menerima Islam. Pada masa awal dakwah Islam, masih banyak masyarakat Makkah yang menolaknya. Mereka condong pada syirik yang sesungguhnya begitu bertolak belakang dari tauhid, sebagaimana ajaran Nabi Ibrahim.

Baca Juga

Nabi SAW dan para pengikutnya kerap mendapat intimidasi dan persekusi dari musyrikin Makkah. Akhirnya, Allah SWT mengizinkan umat Islam untuk berhijrah. Kaum Muslimin berpindah dari Makkah ke Yastrib (Madinah). Rasulullah SAW berangkat dengan didampingi seorang sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Hijrah ini berarti meninggalkan Tanah Air. Menurut Ahmad Muhammad al-Hufy dalam bukunya, Rujukan Induk Akhlak Rasulullah, beliau sangat mencintai Makkah karena di sanalah tempat Masjid al-Haram.

Tak hanya itu, di sanalah tempat beliau bermain sewaktu kecil, tempat beliau dibesarkan. Di sana pula, tempat pertama kali risalah Islam menyebar. Banyak sanak famili, kerabat, dan sahabat yang beliau cintai bermukim atau lahir di sana. Singkatnya, beliau merasa hatinya terpaut pada Makkah.

Namun, kaum musyrik terus memaksanya. Kaum Muslimin sudah berkali-kali menghadapi kekerasan yang di luar batas kemanusiaan. Keputusan sudah diambil, umat harus berhijrah dari Makkah.

Ketika meninggalkan Makkah, Rasulullah SAW sempat memandangi kota itu dengan raut wajah rindu. Saat Makkah sudah lenyap dari pandangannya, beliau berpamitan.

“Demi Allah, engkau adalah negeri yang sangat kucintai. Jika penduduk (musyrik) tidak mengusirku, maka aku tidak akan keluar meninggalkanmu.”

photo
Rasulullah

 

Doa yang Dikabulkan

Di Madinah, hati Rasulullah masih terpaut pada Makkah. Pada waktu itu, syariat Islam masih mewajibkan umat yang beriman agar shalat menghadap Masjid al-Aqsha di Yerusalem.

Nabi SAW bermunajat kepada Rabbnya, menginginkan agar kiblatnya umat Islam sama seperti kiblatnya Nabi Adam AS dan Nabi Ibrahim AS, yakni Ka’bah di Masjid al-Haram, Makkah.

Rasulullah berharap, Allah mengabulkan permohonannya. Karena itu, beliau sering menengadahkan wajahnya ke langit dengan harapan turun wahyu dari Allah yang memerintahkan mengalihkan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram.

Harapan ini terwujud dengan turunnya surah al-Baqarah ayat 144. Artinya, “Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.''

Saat wahyu itu turun, Nabi SAW sedang memimpin shalat di suatu masjid. Kini, masjid itu dinamakan Masjid Qiblatayn. Inilah satu-satunya masjid di dunia yang pernah memiliki dua arah kiblat, yakni pertama mengarah ke Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis) di Yerusalem dan, kedua, yang ke Ka'bah di Makkah. Perubahan arah kiblat ini terjadi pada bulan Rajab tahun 12 Hijriah.

photo
Sejumlah jamaah dari berbagai negara mendirikan shalat di Masjid Qiblatain, Madinah, Senin (15/7). Sebelum ke Makkah saat puncak haji, jamaah yang berada di Madinah memanfaatkan waktu yang ada untuk berziarah ke sejumlah tempat bersejarah, seperti Masjid Qiblatain, Masjid Quba, Masjid al-Ghamamah, dan lainnya.

 

Menolak Rasisme

Islam tidak pernah menempatkan suatu ras di atas ras yang lain. Kriteria fisik tak menjadi tolok ukur seseorang mulia atau tidak. Termasuk kebangsaan atau tanah air.

Bangsa Arab, Cina, atau Eropa misalnya tak menjadi jaminan seseorang akan sampai di surga.

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS al-Hujuraat: 13).

Telah dijelaskan sebelumnya, betapa Rasulullah SAW mencintai Tanah Airnya, Makkah. Belum lama menapakkan kaki untuk hijrah ke Yastrib, beliau sudah menatap rindu kota kelahirannya itu.

Bagaimanapun, secara tegas Rasulullah SAW tak pernah sama sekali menjadikan kesamaan tanah air atau suku sebagai kriteria kemuliaan insan. Malahan, beliau melarang rasisme serta kebanggaan semu lainnya.

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Nabi Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam (mulia) atas orang Arab, begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam, dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, (semua itu) kecuali dengan takwa" (HR Ahmad dan al-Bazzar).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement