Senin 29 Jul 2019 13:25 WIB

Mengapa Manuskrip Karya Ulama Nusantara tak Cantumkan Nama?

Ada beberapa asumsi tentang tiadanya nama dalam manuskrip ulama Nusantara

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Sejarawan dan dosen Ilmu Sejarah IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Tendi sedang membuka manuskrip Babad Sejarah Cirebon di Keraton Kacirebonan.
Foto:

Faktor Rendah Hati

Pemerintah kolonial Belanda berusaha membatasi kegiatan tulis-menulis yang dilakukan kaum Pribumi. Tujuannya untuk membendung komunikasi antartokoh, ulama dan intelektual lokal. Dengan begitu, Belanda berharap mereka tidak memiliki kekuatan lagi untuk membangkitkan perlawanan. Kondisi seperti itu menjadi alasan bagi para penulis Pribumi untuk tidak mencantumkan nama di dalam karya tulis mereka.

Tendi yang juga penulis buku Sejarah Hari Jadi Kabupaten Kuningan menjelaskan, ancaman Belanda membuat para penulis tidak mencantumkan namanya adalah salah satu asumsi. Selain itu, ada asumsi lain terkait tidak tercantumnya nama mereka. Asumsi itu adalah lantaran mereka adalah ulama yang sangat rendah hati. 

Hal tersebut juga disampaikan Sekretaris Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Cabang Cirebon, Nurhata. Menurut dia, meski ada ribuan naskah keagamaan di Cirebon, sebagian besar naskah tidak menyebutkan nama penulis dan waktu penulisannya. Sebab, ada faktor kerendahan hati para penulis naskah keagamaan. Mereka tidak menganggap diri sendiri penting untuk diketahui publik.

"Nama diri sang penyalin atau penulis naskah pada umumnya tidak disebutkan dalam naskah, ini terkait semacam suatu konvensi bahwa nama diri penulis tidak begitu urgen dalam suatu karya," kata Nurhata.

Kalaupun nama penulis disebutkan, menurut dia, biasanya ditulis dengan nada-nada merendah. Seperti menulis "hamba orang fakir", "tidak mengerti sastra", dan lainnya.

Menurutnya, sikap tawadhu semacam itu tampaknya sudah menjadi bagian dari etika penulisan pada masa lalu. Seperti penulis naskah Kitab Merad (koleksi Keraton Kacirebonan), sang penulis mengaku dirinya sebagai orang yang tidak berakhlak. Kemudian penulis naskah Tarekat Syattariah Muhammadiah mengaku dirinya orang "bodoh" dan "miskin."

"Kerendahan hati seorang penulis karena suatu keniscayaan bahwa apa yang ditulisnya tidak lebih dari hasil menyalin atau mengubah dari suatu teks lain yang sudah tersedia, meskipun dalam praktiknya membutuhkan kemampuan besar serta ketelitian," kata Nurhata.

Menurut dia, para penulis naskah di masa lalu menyadari bahwa karyanya bukan lagi milik pribadi. Karena yang dilakukannya hanya mengadaptasi suatu teks atau kitab ke dalam rangkaian aksara dan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat setempat.

Dia juga menjelaskan bahwa naskah keagamaan yang ditemukan di Cirebon sebagian besar sudah diadaptasi untuk disesuaikan dengan konteks sosial yang ada. Para penulis atau penyalin naskah memahami betul konteks sosial budaya di Cirebon. Naskah-naskah keagamaan yang pada mulanya beraksara Arab dan bahasa Arab, diberi terjemahan bahasa Jawa dengan aksara Jawa dan Pegon. Namun, kebanyakan naskah tidak memuat informasi penanggalan atau waktu penulisan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement