Rabu 10 Jul 2019 22:00 WIB

Mengenal Kiai Shobari, Ulama Dan Pejuang dari Kuningan

Tak banyak yang mengetahui tentang sejarah Kiai Haji Ahmad Shobari.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi Pesantren Mahasiswa
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Pesantren Mahasiswa

REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN --- Tak banyak yang mengetahui tentang sejarah Kiai Haji Ahmad Shobari seorang ulama kharismatik dan pemberani yang berhasil mensyiarkan Islam di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Ia bukan saja ahli agama khususnya pada bidang tashawuf dan fiqih. Melainkan juga salah satu ulama yang berjuang menggelorakan semangat umat muslim di Kuningan untuk menentang penjajahan Belanda.

Dikenal dengan nama Kiai Shobari, ia adalah salah satu putra dari Kiai Adroi putra dari Kiai Syuaeb yang mendirikan Pondok Pesantren Ciwedus, Kuningan pada 1800 M. Ia juga cicit dari Sultan Tubagus Kalamudin yakni seorang ulama yang bergaris keturunan ke Kesultanan Banten dan memilih menyebarkan Islam di Kuningan sejak 1715 M. (Link: Sultan Tubagus Kalamudin Penyebar Islam Di Kuningan).

Kiai Shobari lahir pada 1831 M atau 1246 H. Kendati demikian tak ada sumber yang menjelaskan tanggal lahirnya. Sejak usia 11 tahun, berkat bimbingan langsung dari ayahnya yakni Kiai Adroi, Kiai Shobari sudah mampu menghafal berbagai macam kitab seperti Fathul Muin, Alfiah Ibnu Malik dan lain sebagainya. Meski demikian hal itu tak membuat Kiai Shobari puas diri. Ia lantas mengembara untuk menimba ilmu dari beberapa pesantren di Cirebon dan Jawa Tengah. Hingga kiai Shobari dititipkan ayahnya untuk menimba ilmu langsung dari Syaikhona Kholil di Bangkalan Madura.

“Beliau memang tak pernah lama pesantren, selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Beliau juga menyembunyikan jati dirinya sebagai keturunan dari seorang sultan,” kata Kiai Ahmad Musthofa Agil generasi keempat dari Kiai Shobari yang juga pimpinan Ponpes Ciwedus saat berbincang dengan Republika pada Rabu (10/7).

Sepulang menimba ilmu di Madura yakni pada usia 31 tahun. Kiai Shobari dinikahkan dengan sepupunya bernama Fatimah yakni putri dari Kiai Musa yang merupakan adik kandung Kiai Adroi. Setelah itu, Kiai Shobari pun mulai mengemban amanah memimpin pesantren Ciwedus.

Di bawah kepemimpinannya, Pondok Pesantren Ciwedus pun maju pesat. Nama pesantren Ciwedus tersohor ke berbagai daerah. Hal itu tak lepas dari khrisma kiai Shobari. Menurut Kiai Ahmad Musthofa, ketokohan Kiai Shubari juga karena berkah dari ketadzimannya terhadap guru.

Kian hari santrinya pun semakin banyak. Diantara santri Kiai Shobari yang merupakan tokoh besar dan pendiri pesantren seperti Habib Jagasatru, Kiai Ahmad Sanusi Babakan Ciwaringin, Kiai Mutawally Kuningan, Kiai Mahfud Timbang, Kiai Jambu Dipa, Habib Abdurrahman Semarang, Kiai Abdul Halim Majalengka dan lainnya.

Kiai Shobari begitu tegas dalam memberikan ilmu pada santri-santrinya. Konon, meski belum ada pengeras suara, saat mengajar ngaji santrinya suara Kiai Shobari bisa sampai terdengar oleh santrinya hingga berpuluh-puluh meter. Selain mengusurs pesantren, Kiai Shobari juga kerap berdakwah dari satu daerah ke daerah lainnya. Kiai Toyibuddin seorang ulama besar di Pangkalan Ciawi Kuningan adalah kawan dekatnya yang kerap menemani berdakwah.

Kiai Shobari juga dikenal sebagai ulama yang tak kenal kompromi terhadap penjajahan Belanda. Ia pun menggerakan umat muslim di Kuningan untuk melakukan perlawanan kepada Belanda. Dengan kharismanya itu, Kiai Shobari menjadi sosok yang ditakuti Belanda. Bahkan menurut Kiai Ahmad Musthofa, Kiai Shobari turut bergerilya memerangi Belanda.

“Kalau disuruh pasang bendera Belanda beliau milih perang, jadi siang dia gerilya perang dan malamnya ngajar ngaji. Beliau terus melakukan perlawanan pada penjajah tak mau kompromi,” katanya.

Kiai Shobari pun wafat pada Rabu 16 Agustus 1916 atau 17 Syawal 1334 H dan dimakamkan di lingkungan Pesantren Ciwedus. Pasca kepergiannya, Belanda mulai berani memasuki wilayah Desa Ciwedus tak terkecuali Pesantren Ciwedus. Bahkan menurut Kiai Ahmad Musthofa, pada 1935 Belanda membakar habis pesantren beserta kitab-kitab tulisan tangan Kiai Shobari.

Beruntung, keturunan Kiai Shobari pun masih bisa menemukan salah satu kitab yang ditulis Kiai Shobari yakni kitab tashawuf tarekat Syatoriyah. Sementara menurut Kiai Ahmad Musthofa pihak keluarga masih mencari dua karya fenomenal Kiai Shobari lainnya yakni syarah kitab Fathul Muin dan syarah tafsir Jalalin. “Sebab dulu itu banyak kitab-kitabnya yang dibakar dan sebagian itu diselamatkan santri-santrinya yang telah menyebar ke berbagai daerah,”tuturnya. 

Hal itu pun membuat keturunan Kiai Shobari berpindah tempat. Seiring berjalannya waktu, keturunan Kiai Shobari diantaranya yakni Kiai Agil mencoba membangun kembali pesantren. Namun, pesantren kembali mendapat cobaan. Ketika G30/SPKI meletus, Pesantren Ciwedus pun tak lepas dari sasaran.

“Saat PKI bergejolak itu pesantren Ciwedus di bumi hanguskan sampai rumah Kiai Agil juga dibakar, dicari mau dibunuh,” katanya. Setelah kemerdekaan, para keturunan Kiai Shobari pun bahu membahu membangun kembali pesantren. Selain itu juga dibangun juga Madrasah pada 1960, MTS Ciwedus pada 1976, Taman Kanak-Kanak dan Madrasah Ibtidaiyah pada 1988, dan SMA pada 2003.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement