Jumat 07 Jun 2019 12:48 WIB

Cintailah Allah dan Rasul-Nya

Berkawan dengan orang saleh memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan.

Mengingat Allah Ilustrasi.
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Mengingat Allah Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Seorang lelaki datang ke majelis Rasulullah SAW. Seperti biasa, semua kalangan ingin menyerap madu ilmu dari sumber utama. Tak disebutkan jelas siapa nama lelaki itu. Perawakannya layaknya sang Arab badui. Mengelana dari satu tempat ke tempat lain. Lelaki ini ingin bertanya tentang masa depan kepada sang Nabi.

Sang pembantu Nabi, Anas bin Malik RA, mencatat setiap gerak-gerik lelaki itu. Sekonyong-konyong si Arab badui ini melontarkan pertanyaan kepada Rasulullah. Tak ada basa-basi, tak perlu pendahuluan. “Kapankah hari kiamat terjadi?”

Nabi SAW memang layak digelari fathanah. Beliau SAW bisa menjawab semua pertanyaan dari semua golongan. Cara menjawabnya pun disesuaikan dengan kapasitas sang penanya. Rasulullah SAW tak hendak menerangkan ciri-ciri atau tanda-tanda hari akhir. Selain itu, tak ada kapasitas Beliau SAW menjawab dengan persis kapankah hari pembalasan itu akan datang.

Namun, Beliau SAW justru berbalik bertanya kepada sang Arab badui. Sebuah pertanyaan yang akan melahirkan kaidah ilmu nan agung. “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya (hari kiamat)? 

 

Sebuah jawaban jujur mengalir. “Cinta Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang (pada hari kiamat) akan bersama dengan orang yang dia cintai.” 

Hadis yang termaktub dalam jalur periwayatan Imam Muslim itu memberikan sebuah ilmu. Barang siapa mencintai seseorang karena Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan dikumpulkan di hari akhir bersama yang dicintainya. 

Rasulullah tidak menjawab, “Seseorang akan bersama Allah dan Rasul-Nya jika ia mencintai keduanya.” Namun, Baginda Nabi meluaskan objek persaudaraan ini. Siapa saja, yang mengikrarkan cinta terhadap sesama atas dasar iman, maka ia akan bersamanya kelak saat hari akhir.

Maka tak berlebihan jika menyebut persahabatan tak hanya akan berhenti di dunia. Persaudaraan akan kekal nanti hingga akhirat. 

Hadis ini juga memberikan makna lain. Siapa yang berteman dengan penjual minyak wangi, maka akan terciprat bau harum wewangian. Jika ingin bersama seseorang di surga, kita sudah paham rumusnya. Cintailah orang yang gemar mengamalkan amalan ahli surga hingga ajalnya menjelang.

Jangan sampai justru kita bersaudara dan mencintai orang yang gemar beramal dengan amalan penghuni neraka. Karena, kita akan dikumpulkan di hari kiamat kelak dengan orang-orang yang kita cintai.

Berkawan dengan orang saleh memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang. Jika kita ingin berbuat maksiat, ada lingkungan yang mengingatkan dan menjaga kita. Sehingga, kita pun mengurungkan niat perbuatan buruk tersebut. Beberapa ulama bahkan mewajibkan hukumnya berteman dengan orang saleh.

Ada berjuta keuntungan berkawan dan bersaudara dengan orang saleh. Menyapanya dengan senyum saja sudah dihitung ibadah oleh Allah SWT. Berkawan dengan orang saleh juga akan menderaskan rezeki makhluk. “Barang siapa ingin dilapangkan rezekinya dan terus diingat namanya setelah mati, sambunglah tali silaturahim.” (HR Bukhari).

Islam juga hadir dengan segala kemungkinan persaudaraan. Dalam berkawan, layaknya hubungan suami istri, kadang dilanda ujian persahabatan, tak jarang diberi nikmat ukhuwah yang menguat. Saat ujian persaudaraan hadir, Islam pun memberikan kaidah yang mulia.

“Tidak halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam: masing-masing memalingkan muka dari yang lain saat keduanya bertemu dan orang terbaik dari keduanya adalah yang memulai ucapan salam.” (HR Bukhari dan Muslim).

Seberat apa pun ujian ukhuwah, Islam memberikan waktu tiga malam untuk masing-masing diri introspeksi. Persaudaraan begitu sangat dihargai dalam agama ini. Janganlah berlarut-larut dalam bermusuhan. Bukankah kebersamaan lebih menyenangkan?

Dalam kesempatan lain, Sang Nabi menganjurkan berbagi dengan tetangga. Bahkan, berbuat baik dengan tetangga menjadi salah satu indikator keimanan seseorang. Tetangga yang bisa jadi bukan kerabat kandung ternyata memiliki peran yang amat krusial. “Demi yang jiwaku berada di genggaman-Nya, tidaklah sempurna iman seorang hamba sampai ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lantas jika ukhuwah, persaudaraan, dan pertemanan ini bernilai besar di mata Allah dan Rasul-Nya, masihkah kita tak meletakkan persahabatan atas dasar materi saja?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement