Kamis 13 Jun 2019 04:05 WIB

Tak Silau Jabatan

Jabatan kepemimpinan bukanlah hal yang patut dibangga-banggakan.

Pemimpin yang berilmu (Ilustrasi)
Foto:

Sesungguhnya perbedaan pendapat atau perselisihan soal kepemimpinan adalah hal yang lumrah terjadi. Namun, para sahabat menyelesaikan dengan musyawarah, menepis semua kepentingan pribadi untuk mencari kemaslahatan bersama. Ada Abu Bakar yang tak berambisi, ada Umar bin Khattab yang menengahi, dan ada Sa'ad bin Ubadah yang ikhlas menerima.

Tatkala Abu Bakar selesai menyelesaikan pembicaraan di Saqifah, ia mengajukan Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah sebagai calon khalifah. Umar membenci hal tersebut. Ia lebih memilih dipenggal lehernya daripada memimpin sebuah kaum, sedang di sana masih ada Abu Bakar. Atas keyakinan itu pula, ia meminta Abu Bakar mengulurkan tangan dan membaiatnya.

Sedangkan Abu Bakar, ia pun tak pernah sekali-kali memimpikan jabatan khalifah. Dalam khutbahnya, Abu Bakar mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah berambisi terhadap kekuasaan meskipun sehari atau semalam dalam hidupku. Saya juga tidak pernah menginginkannya. Aku tidak pernah sekalipun meminta kepada Allah, baik secara terang-terangan maupun rahasia.”

Padahal, apa yang kurang dari Abu Bakar. Dia sahabat utama yang ditunjuk menjadi imam saat Rasulullah sakit pada akhir hayat beliau. Abu Bakar pula orang yang menemani Rasulullah hijrah ke Madinah. Putrinya, Aisyah radiyallahu anha, adalah istri kesayangan Nabi Muhammad.

Sikap Abu Bakar menghadapi kabar kematian Rasulullah juga menunjukkan kuatnya iman Abu Bakar. Wafatnya Rasulullah adalah musibah paling besar bagi kaum Muslim. Ali mengurung diri, Utsman terdiam, sedang Umar berbicara tidak masuk akal.

“Rasulullah tidak meninggal. Ia hanya pergi sementara untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa pergi meninggalkan kaumnya. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali dan memotong tangan dan kaki mereka (yang mengatakan beliau telah wafat),” begitu seru Umar berkali-kali.

Saat itulah Abu Bakar keluar dan menyuruh Umar duduk. Ia menyampaikan kata-kata yang mengentak kesadaran kaum Muslim. “Barang siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah mati. Dan barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.”

Kemudian, Abu Bakar pun membacakan surah Ali Imran ayat 144. Semua orang menangis tersedu-sedu, seolah baru mendengar ayat itu untuk pertama kalinya. Peristiwa ini membuktikan ketabahan dan keberanian Abu Bakar. Karena, tolok ukur ketabahan dan keberanian seseorang adalah kuatnya hati ketika ditimpa musibah. Lewat kalimat-kalimat dari lisan Abu Bakar, para sahabat menyadari kelalaian dan kesedihan mereka.

Generasi pertama umat ini menyadari, kepemimpinan bukanlah jabatan yang patut dibangga-banggakan atau alat mengeruk keuntungan. Kepemimpinan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Amanah yang bahkan membuat gunung-gunung terbelah hancur lantaran tak sanggup menerima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement