Senin 06 May 2019 17:02 WIB

Akal Rasional dan Pengendalian Hawa Nafsu

Buya Anwar Abbas menjelaskan tentang akal rasional dan pengendalian hawa nafsu

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Hasanul Rizqa
Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Sekretaris Jenderal MUI, Anwar Abbas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan hendaknya menjadi kesempatan untuk menempa diri seorang Muslim hingga jadi pribadi yang lebih baik. Jangan sampai kesempatan untuk beramal baik terlewatkan sepanjang bulan suci ini. Demikian ketua PP Muhammadiyah Buya Anwar Abbas mengingatkan.

Menurut dia, puasa Ramadhan mengandung hikmah untuk mengendalikan hawa nafsu. Sebaliknya, alih-alih hawa nafsu, akal rasional mestinya dikedepankan. 

Baca Juga

Akan tetapi, akal manusia sesungguhnya terbatas. Jangan sampai seorang insan yang beriman terlalu mengandalkan akal, sehingga melalaikannya dari iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebab, iman itulah yang dapat mengendalikan hawa nafsu, bukan semata-mata akal.

Buya Anwar Abbas mencontohkan, waktu Nabi Muhammad SAW baru saja selesai melakukan Perang Badar. Kondisi umat Islam saat itu sudah lelah karena baru saja usai berjuang dalam melawan pasukan musyrikin. Apalagi, secara kuantitas umat Islam kalah jumlah. Mereka sekitar 300 orang, sedangkan pihak musuh sebanyak lebih dari tiga kali lipat.

Sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW bersabda, umat baru saja selesai melakukan perang kecil dan akan menghadapi perang besar. Para sahabat terkejut mendengarnya.

"Terperangah para sahabat mendengar itu, ternyata masih ada perang yang lebih dahsyat dari Perang Badar, lalu para sahabat bertanya, 'perang besar apa itu ya Rasulullah?' Rasulullah menjawab, perang melawan hawa nafsu," kata Buya Anwar kepada Republika.co.id, akhir pekan lalu.

Dalam konteks Ramadhan, pengendalian hawa nafsu berarti mengedepankan rasionalitas dan, yang tertinggi, kebenaran. "Meski menurut otak manusia rasional, tapi bertentangan dengan firman-firman Allah dan sabda Rasulullah, itu harus ditolak," ujarnya.

Sekjen MUI Pusat itu mencontohkan bila seseorang meminjamkan uang ke orang lain. Menurut pikiran rasional orang tadi, pihak peminjam harus membayar utang plus bunga. Hal itu supaya dirinya untung.

"Sesuatu yang menguntungkan, menurut otak, baik dan rasional, tapi menurut agama tidak baik karena ada hukum riba," jelasnya.

"Oleh karena itu kita berbuat sesuai harus sesuai dengan ketentuan Allah, sebab baik menurut akal belum tentu baik menurut Allah," sambung dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement