Jumat 17 May 2019 08:00 WIB

BPJPH Harus Memicu Pertumbuhan Industri Halal

Banyak pihak sangat berharap ada resonansi atau efek getar atas hadirnya PP tersebut.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Agus Yulianto
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), telah disahkan. Pengesahan PP JPH dilakukan pada 3 Mei 2019 dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 88 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 6344.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah mengatakan, terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) harus diapresiasi sebagai komitmen pemerintahan Presiden Jokowi dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

"Artinya pemerintah sudah sungguh-sungguh untuk menerapkan sistem jaminan halal di bawah tata kelola negara, yang semula berada di Majelis Ulama Indonesia (MUI)," kata Ikhsan saat dihubungi, Republika.co.id, Kamis (16/5).

Ikhsan mengatakan, banyak pihak sangat berharap ada resonansi atau efek getar atas hadirnya PP tersebut. Karena harapan publik, hambatan pertumbuhan industri halal yang selama ini dialamatkan, karena belum terbitnya PP sekalipun diketahui UU JPH telah di undangkan pada tanggal 17 Oktober 2014, berarti sudah tidak beralasan lagi.

Lalu bagaimana Kemenag melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akan melaksanakan undang-undang khususnya yang berkaitan dengan peta jalan atau road map pelaksanaannya?. Menurut dia, publik harus diajak peran serta, karena tidak mungkin pemerintah dapat melaksanakan sendiri undang-undang tersebut. 

Menurut Ikhsan, persoalan yang harus dipahami, bahwa BPJPH bukanlah badan baru dalam urusan sertifikasi halal. Tetapi, sudah ada badan sebelumnya yang dilakukan oleh LPPOM MUI sejak 6 Januari 1984. 

"Tentu harus menjadi sistem yang berlanjut dan tidak discontinue dan segalanya mulai lagi dari titik nol," katanya.

Ikhsan menuturkan, perjalanan waktu, kepercayaan, sistem dan profesionalisasi serta pengalaman harus menjadi pertimbangan daripada sekedar membangun semuanya baru. Di samping memerlukan waktu, biaya dan sosialisasi yang sangat mahal, dan ujungnya adalah mengorbankan kepentingan dunia usaha dan industri. 

"Itulah perlunya kerjasama yang baik dan sinergi dengan semangat saling memperkuat antara BPJPH dan MUI dan tidak mengambil peran yang satu dari yang lain," katanya.

Di sisi lain, industri dan pelaku usaha juga perlu kepastian untuk berbagai hal. Sebab menurutnya, ada berbagai hal yang perlu segera duduk bersama antara BPJPH dengan MUI terkait dengan kerja sama pelaksanaan Jaminan Produk Halal antara BPJPH dan MUI, sertifikasi auditor halal, sistem dan prosedur penetapan kehalalan produk, akreditasi lembaga pemeriksa halal, kerja sama internasional dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri, dan penetapan mengenai pentahapan produk obat-obatan dan kosmetika.

Karenanya, Ikhsan menuturkan, kesiapan road map penyelenggaraan sistem jaminan halal yang akan dilakukan oleh BPJPH harus tersosialisasi kepada masyarakat dan dunia usaha, agar semua stakeholder dapat memahami dan menyesuaikan.

"Sehingga ada gambaran di publik bagaimana dunia usaha dan industri dapat menyesuaikan penyelenggaraan sistem jaminan halal yang dikelola oleh BPJPH," katanya.

Menurut dia, peran BPJPH pasca-diterbitkannya PP harus menjadi badan sertifikasi yang tidak hanya menjalankan peran dan fungsi LPPOM MUI sebelumnya tetapi harus dapat memacu pertumbuhan industri halal. Produk halal yang dihasilkan oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) harus menjadi prioritas penanganannya agar mereka mendapatkan layanan sertifikasi halal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement