Senin 13 May 2019 13:26 WIB

Ramadhan Membangun Solidaritas

Adaa kebahagiaan yang bakal diraih bagi mereka yang berpuasa Ramadhan.

Ramadhan
Foto: IST
Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kehadiran perintah ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan kepada umat Islam dengan tujuan agar bertakwa tentu akan diterima dengan penuh kebahagiaan. Kebahagiaan yang bakal diraih para pelaku puasa seperti kata Nabi SAW, "Pertama, saat berbuka menikmati hidangan makanan. Kedua, saat bertemu dengan Tuhannya."

Kebahagiaan dalam berbuka maknanya terkandung rasa syukur bagi pelaku puasa menikmati hidangan makanan setelah berjuang menahan haus, lapar, bercampur letih pada siang hari. Dalam situasi ini pelaku puasa merasakan betapa haus, lapar, dan letih itu menjadi penderitaan harian kaum miskin, sehingga dalam diri pelaku puasa tumbuh sifat solidaritas dan kasih pada setiap umat manusia yang didera penderitan hidup.

Kebahagiaan bertemu dengan Tuhan mengandung persiapan hidup ke depan (hidup di akhirat) saat mempertanggungjawabkan prestasi amaliahnya di hadapan Tuhan kelak. Upaya ke arah itu pelaku puasa di tantang untuk fokus mempersiapkan amalan-amalan positif seperti yang terkandung dalam perintah dan larangan ibadah puasa.

Perintah dalam ibadah puasa berupa amalan shalat Tarawih berjamaah, pemberian sedekah, infak, dan zakat yang diamalkan secara khusyuk, fokus, dan konsisten merupakan pendidikan efektif yang dapat membentuk keperibadian sosial/akhlak yang tinggi. Demikian juga larangan membuka aib, mencela, mengadu domba, berdusta, dan menjaga syahwat/hawa nafsu sejatinya menjadi kebahagiaan pelaku ibadah puasa itu sendiri karena bukan saja menumbuhkan suasana batin menjadi lembut dan santun, tapi juga mampu membangun dan merajut hubungan solidaritas antarsesama.

 

Lima hal yang dapat merusak nilai ibadah puasa, kata Nabi SAW, adalah berdusta, sumpah palsu, membuka aib, mengadu domba, dan mengum bar hawa nafsu. Benar, perbuatan se perti ini merusak nilai ibadah puasa ka rena yang bersangkutan tidak men dapatkan kebahagiaan saat menerima hukuman di hadapan Tuhannya kelak.

Ia juga akan meraih kesengsaraan hidup di dunia karena selalu membuat keonaran dan tidak tumbuh dari batinnya guna merajut hubungan solidaritas antarsesamanya. "Barang siapa yang tidak meninggalkan pernyataan cela dan onar," demikian Nabi SAW, "maka Allah tidak akan peduli/ butuh pada nya daripada ia sekadar mening gal kan makanan dan minuman."

Pendidikan kepribadian dalam iba dah Ramadhan yang seperti ini, me nurut al-Kalabazi, tokoh sufi, dalam buku Taaruf li al- Mazahib ahl at- Tasawuf, disebut dengan pendidik an damir yaitu pendidikan dalam mem bentuk kepribadian berhati nura ni sejati. Damir ini, menurut al-Ka la bazi, terdiri atas tiga damir yaitu damir dini (kepribadian agama), damir ijtimai ( kepribadian sosial), dan damir qanuni (kepribadian undang-undang). Ketiga damir ini, lanjut al-Kalabazi, harus menjadi satu kesatuan dengan dikawal oleh keperibadian moral/agama.

Di era situasi bangsa yang sedang merangkai misi besar demokrasi yang rentan konflik ini, hadirnya bulan Ra madhan menjadi momentum penting. Karena dari pendidikan Ramadhan ini te lah lahir manusia damir berhati nu ra ni takwa yang mampu mengga lang so lidaritas dan perdamaian. Semoga!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement