Senin 22 Apr 2019 13:13 WIB

Ini Dugaan Pengamat Soal Aksi Terorisme di Sri Lanka

Kasus terorisme di Sri Lanka kemarin diduga dipicu persoalan politik

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Hasanul Rizqa
 Petugas kepolisian Sri Lanka membuka jalan ketika sebuah mobil ambulans melaju dengan membawa korban ledakan Gereja di Kolombo, Sri Lanka, Ahad (21/4/2019).
Foto: AP/ Eranga Jayawardena
Petugas kepolisian Sri Lanka membuka jalan ketika sebuah mobil ambulans melaju dengan membawa korban ledakan Gereja di Kolombo, Sri Lanka, Ahad (21/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi yang melanda Kolombo, Sri Lanka, pada Ahad (21/4) mengundang kecaman dari pelbagai pihak. Pengeboman yang menarget gereja di kala perayaan Hari Paskah itu telah menyebabkan setidaknya 290 orang meninggal dunia, sedangkan lima ratus orang lainnya luka-luka. Sampai kini, otoritas setempat masih terus mengusut motif dan para pelaku.

Pengamat terorisme Abu Harits Ulya menilai, tragedi tersebut merupakan aksi terorisme. Perbuatan keji yang dilakukan para pelaku, lanjut dia, tidak bisa dijadikan dalih untuk melancarkan stigma negatif agama manapun, termasuk Islam.

Baca Juga

Ia lantas mengajak seluruh masyarakat untuk melihat kasus teror tersebut secara utuh. Di samping itu, para pelaku menurutnya memang layak dikecam keras karena sangat tidak berperikemanusiaan.

“Aksi terorisme siapapun pelakunya harus dikutuk. Tapi aksi teror di Sri Lanka ini tidak bisa dijadikan alat stigma negatif pada Islam dan umat Islam pada umumnya,” ucap Abu Harits saat dihubungi Republika.co.id, Senin (22/4).

Pelaku aksi terorisme di ibu kota Sri Lanka itu, sambung dia, bisa saja bekerja secara terencana, baik itu individu, kelompok, atau bahkan dalam konteks state terrorism. Target serangan teroris juga mungkin saja acak (random) sehingga bisa terkena siapa saja.

Setiap kasus teror tidak lahir dari ruang hampa, melainkan banyak faktor dan variabel yang menjadi pemicunya. Sejarah panjang benturan politik, ekonomi, dan budaya antarkomponen masyarakat di Sri Lanka, menurut Abu Harits, dapat memberi pengaruh bagi lahirnya kontraksi sosial-keamanan. Politik diduga menjadi faktor utama dalam hal ini.

“Dan sikap ekstrem sebagian kecil komponen dalam memahami relasi yang tidak harmonis, dan rasa ketidakadilan bagi mereka di masyarakat Sri Lanka melahirkan kasus teror. Saya melihat kasus aksi teror di Sri Lanka lebih karena persoalan politik yang menjadi pemicunya,” ungkap dia.

Diketahui, aksi terorisme terjadi di Sri Lanka, Ahad (21/4). Sebanyak delapan bom meledak di tiga gereja, empat hotel, dan satu rumah warga. Dari delapan serangan bom, enam di antaranya terjadi dalam waktu hampir bersamaan. Menurut laporan New York Times, ledakan pertama dan yang paling dahsyat terjadi di Gereja St Sebastian, Negombo, sekitar pukul 08.45 waktu setempat.

Bom meledak saat umat Kristen Sri Lanka sedang merayakan hari raya Paskah. Seorang saksi mata di lokasi ledakan, Gereja St Anthony, Sumanapala, mengatakan asap hitam pekat mengepul dari depan pintu gereja.

Selain gereja, ledakan bom turut terjadi di tiga hotel mewah di Kolombo, yaitu Shangri-La Hotel, Cinnamon Grand Hotel, dan Hotel Kingsburry. Bom di tiga hotel itu meledak hanya berselang beberapa menit dari bom di tiga gereja.

India Today melaporkan, 10 hari sebelum kejadian, polisi Sri Lanka sudah memperingatkan tentang potensi serangan bom. Peringatan itu menyebutkan tentang serangan teroris yang mengincar sejumlah gereja terkenal di seluruh Sri Lanka. Pihak berwenang pun sudah memperketat pengamanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement