Senin 08 Apr 2019 17:22 WIB

Jihad Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani Melawan Penjajah

Syekh Abdus Shamad diperkirakan wafat pada 1789.

(ilustrasi) peta Palembang, Sumatra Selatan
Foto: tangkapan layar maps
(ilustrasi) peta Palembang, Sumatra Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Azyumardi Azra dalam The Origin of Islamic Reformism in Southeast Asia menyebut, Syekh Abdus Shamad al-Palimbani merupakan termasuk ulama-ulama terpenting sepanjang abad ke-18 di Nusantara.

Tulisan-tulisan sang syekh tersebar luas dan terus dikaji di pusat-pusat keilmuan agama Islam di Nusantara, utamanya lingkungan pesantren. Salah satu kontribusi besar Syekh Abdus Shamad al-Palimbani adalah upayanya memperkenalkan tasawuf dengan perspektif baru (neo-sufi).

Baca Juga

Dalam hal ini, ada dua karya penting Syekh Abdus Shamad al-Palimbani yakni Hidayat al-Salikin dan Sair al-Salikin. Masing-masing merupakan penjelasan sang penulis tentang dua kitab karangan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, yakni Bidayat al-Hidayah dan Lubab Ihya` Ulum al-Din.

Chatib Quzwain, dalam Mengenal Allah: Studi mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh 'Abdus Samad al-Palimbani, menjelaskan motif sang syekh dalam menulis dua karya tersebut. Karya-karyanya ini diharapkannya dapat menjadi panduan yang tepat bagi mereka yang berkeinginan memasuki jalan tasawuf tetapi belum punya basis keilmuan agama yang memadai. Disebut pula, Syekh Abdus Shamad piawai dalam memadukan tasawuf akhlaqi Imam Ghazali dan tasawuf falsafi Ibn ‘Arabi

Di luar dunia tasawuf, menurut Azra, ulama besar asal Sumatra Selatan ini juga berperan menyebarkan ideologi anti-penjajahan. Syekh Abdus Shamad al-Palimbani diketahui ikut menyerukan jihad terhadap Belanda yang menindas kaum Muslim di seantero Nusantara.

Peran ini dielaborasi lebih lanjut oleh Muhammad Julkarnain dalam artikelnya untuk jurnal Tajdid (Januari-Juni 2016). Karya besar Syekh Abdus Shamad tentang jihad adalah kitab Nasihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadha’il al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah.

Para mujahid Aceh yang berperang melawan Belanda (Prang Sabi) terinspirasi dari karya sang syekh. Selain itu, Syekh Abdus Shamad juga kerap bersurat dengan raja-raja Muslim di Nusantara untuk menggelorakan semangat jihad terhadap penjajah.

Julkarnain menjelaskan, Nasihat al-Muslimin berisi antara lain penafsiran Syekh Abdus Shamad tentang 35 ayat Alquran yang berkenaan dengan jihad. Sang syekh juga dalam menyertakan sedikitnya 13 teks hadits beserta penjelasan di dalam uraiannya.

Kitab tersebut dibuka dengan bab yang menjelaskan keutamaan mujahid (orang yang melakukan jihad) sebagai bagian dari kaum beriman. Bab berikutnya menjelaskan tentang dasar jihad dalam Alquran.

Syekh Abdus Shamad mengutip dan menjelaskan makna surah al-Anfal ayat 60, yakni bahwa dalam melawan orang-orang kafir, kaum beriman yang melangsungkan jihad perlu melengkapi diri dengan persenjataan. Namun, Julkarnain menyimpulkan, sang syekh tidak berhenti pada uraian tentang jihad secara fisik.

Penulis Nasihat al-Muslimin tersebut juga menegaskan pentingnya kondisi ketertindasan atau diperangi terlebih dahulu untuk dapat memulai suatu jihad. Artinya, jihad tidak lain merupakan upaya untuk mempertahankan diri di hadapan penjajah, bukan justru menjadi dalih memulai penjajahan.

Adapun bagian akhir dari kitab itu memaparkan doa-doa yang penting bagi kaum yang melakukan jihad.

Julkarnain memandang, Nasihat al-Muslimin cukup menjadi bukti bahwa Syekh Abdus Shamad al-Palimbani bukanlah seorang sufi saleh yang pasif, melainkan aktif untuk memperjuangkan kehormatan umat Islam. Keteguhan seorang salik, cendekiawan, dan pembimbing masyarakat ada pada diri tokoh asal Sumatra Selatan abad ke-18 ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement